| 
 W A L I K O T A   B A N J A R M A
S I N 
 PERATURAN DAERAH
KOTA BANJARMASIN 
     NOMOR     15   
 TAHUN  2012 
TENTANG 
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
WALIKOTA
BANJARMASIN, 
 
Dengan Persetujuan Bersama : 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJARMASIN 
dan 
WALIKOTA
BANJARMASIN 
MEMUTUSKAN
: 
 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 
Dalam Peraturan Daerah ini
yang dimaksud dengan : 
1.     
Daerah
adalah Kota Banjarmasin; 
2.     
Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin; 
3.     
Walikota
adalah Walikota Banjarmasin; 
4.     
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarmasin; 
5.     
Dinas adalah Dinas Tata Ruang, Cipta Karya dan Perumahan
Kota Banjarmasin; 
6.     
Badan adalah Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Kota Banjarmasin; 
7.     
Badan Hukum adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap; 
8.     
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang berfungsi untuk tempat penyimpanan, perlindungan, pelaksanaan kegiatan
yang mendukung terjadinya aliran yang menyatu dengan tempat kedudukan yang
sebagian atau seluruhnya berada di atas, dan/atau di dalam tanah dan/atau air; 
9.     
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal,
kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan
khusus; 
10.  
Bangunan Bukan Gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada diatas dan/atau didalam tanah dan/atau air, yang tidak
digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal; 
11.  
Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari
fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administrasi
dan persyaratan teknisnya; 
12.  
Bangunan Gedung Umum adalah bangunan gedung yang
fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha,
maupun fungsi sosial dan budaya; 
13.  
Bangunan Gedung Tertentu adalah bangunan gedung yang
digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam
pembangunan dan / atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan / atau
memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap
masyarakat dan lingkungannya; 
14.  
Bangunan Permanen adalah Bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan lebih dari 15 (lima belas) tahun; 
15.  
Bangunan Semi Permanen adalah Bangunan yang ditinjau dari
segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun; 
16.  
Bangunan sementara/ darurat adalah bangunan yang ditinjau
dari segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun; 
17.  
Keterangan Rencana Kota adalah informasi tentang
persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota
pada lokasi tertentu; 
18.  
Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB
adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kota kecuali untuk bangunan
gedung dan bangunan bukan gedung, fungsi khusus oleh Pemerintah kepada Pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku; 
19.  
Koefisien Dasar Bangunan selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung
dan luas tanah perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan; 
20.  
Koefisien Lantai Bangunan selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan
luas tanah perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan; 
21.  
Koefisien Daerah Hijau selanjutnya disingkat KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan / penghijauan dan luas tanah
perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan; 
22.  
Koefisien Tapak Bangunan yang selanjutnya disingkat KTB
adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan; 
23.  
Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat
RTRW Kota adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Kota yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah; 
24.  
Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR
adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam rencana
pemanfaatan kawasan; 
25.  
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya
disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana
umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana,
dan pedoman pengendalian pelaksanaan; 
26.  
Laik Fungsi adalah adalah suatu kondisi bangunan gedung
yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi
bangunan gedung yang ditetapkan; 
27.  
Mendirikan Bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun, atau meratakan
tanah yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut; 
28.  
Merubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan atau
menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan
dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut; 
29.  
Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan
seluruh atausebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau
prasarana dan sarananya; 
30.  
Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai
standar tata cara,standarspesifikasi dan standar metode uji baik berupa standar
Nasional Indonesia maupun Standar Internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung; 
31.  
Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan
gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi; 
32.  
Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti
bagian bangunan gedung, komponen bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana
agar bangunan gedung tetap laik fungsi; 
33.  
Pemugaran bangunan gedung yang di lestarikan adalah
kegiatan memperbaiki/ memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya; 
34.  
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Kota berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan; 
35.  
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah
Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan; 
36.  
Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan
tanah, dimana bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak dari
bangunan; 
37.  
Jembatan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut JBG
adalah jembatan yang digunakan untuk menyeberangi sungai menuju bangunan gedung
atau halaman bangunan gedung, dan menjadi bagian dari bangunan gedung; 
38.  
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya
disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan; 
39.  
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung
adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan
keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan,
menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan
berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung; 
40.  
Indeks Terintegrasi atau Terpadu adalah bilangan hasil
korelasi matematis dari indeks parameter-parameter fungsi, klasifikasi, dan
waktu penggunaan bangunan gedung, sebagai faktor pengali terhadap harga satuan
retribusi untuk menghitung besaran retribusi; 
41.  
Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang terdiri dari
para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan
pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa
penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian
masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya
ditunjuk secara kasus per kasus diseusaikan dengan kompleksitas bangunan gedung
tertentu tersebut; 
42.  
Instansi Teknis Pembina Penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah adalah dinas atau
bidang yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung di
Kota Banjarmasin; 
43.  
Laik Fungsi Bangunan Gedung adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang
ditetapkan; 
44.  
Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disebut SLF
adalah sertifikat yang diberikan Oleh Pemerintah Kota pada suatu Kondisi
bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan; 
45.  
Rekomendasi adalah
saran tertulis dari ahli berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian,
sebagai dasar pertimbangan penetapan pemberian Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
bangunan gedung oleh Pemerintah Kota; 
46.  
Sampah adalah sisa dari kegiatan sehari-hari manusia
dan/atau proses yang berbentuk padat; 
47.  
Sampah Organik atau Sampah Basah atau Sampah Hayati
adalah sampah yang mudah membusuk seperti sampah sisa dapur, daun-daunan,
sayur-sayuran dan sebagainya; 
48.  
Pengomposan adalah
proses pengolahan sampah organik dengan bantuan mikro organisme sehingga
terbentuk kompos; 
49.  
Air Limbah Non Kakus
adalah air limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas mandi, cuci dan masak; 
50.  
Air Limbah Rumah Tangga adalah semua jenis air buangan rumah tangga yang berasal dari
mandi, dapur, cuci dan kakus; 
51.  
Fasilitas Pengelolaan Limbah Kakus adalah sarana atau prasarana untuk mengelola air limbah kakus,
misalnya berupa tangki septic, jaringan perpipaan, air limbah kakus; 
52.  
Bangunan Rumah Toko yang selanjutnya dapat disebut Ruko,
adalah termasuk bangunan dengan fungsi usaha; 
53.  
Pembekuan 
adalah  pemberhentian  sementara 
atas  IMB  akibat penyimpangan dalam pelaksanaan
pembangunan gedung; 
54.  
Pencabutan 
adalah  tindakan  akhir 
yang  dilakukan  setelah pembekuan IMB; 
55.  
Pemutihan atau dengan sebutan nama lainnya adalah
pemberian IMB  terhadap  bangunan 
yang  sudah  terbangun 
di  kawasan  yang belum memiliki RDTRK, RTBL, dan/atau
RTRK; 
56. 
Pembongkaran 
adalah  kegiatan  membongkar 
atau  merobohkan seluruh  atau 
sebagian  bangunan,  komponen, 
bahan  bangunan, dan/atau prasarana
dan sarananya. 
BAB II 
RUANG LINGKUP 
Pasal 2 
Ruang Lingkup Peraturan
Daerah ini meliputi ketentuan penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan dan
Penyelenggaraan Bangunan Gedung. 
BAB III 
PRINSIP DAN MANFAAT PEMBERIAN IMB 
Pasal 3 
Pemberian IMB diselenggarakan
berdasarkan prinsip: 
a.   
prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif; 
b.  
pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu; 
c.   
keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha;
dan 
d.  
aspek  rencana  tata 
ruang,  kepastian  status 
hukum  pertanahan, keamanan dan
keselamatan, serta kenyamanan.   
Pasal 4 
(1) 
Walikota memanfaatkan pemberian IMB untuk: 
a.   
pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;  
b.  
mewujudkan 
tertib  penyelenggaraan  bangunan 
yang menjamin  keandalan  bangunan 
dari  segi  keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan; 
c.   
mewujudkan 
bangunan  yang  fungsional   
sesuai  dengan  tata bangunan dan serasi dengan
lingkungannya; dan 
d.  
syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan. 
(2) 
Pemilik IMB mendapat manfaat untuk: 
a.   
pengajuan sertifikat laik 
jaminan fungsi bangunan; dan 
b.  
memperoleh 
pelayanan  utilitas  umum 
seperti pemasangan/penambahan 
jaringan  listrik,  air 
minum, hydrant, telepon, dan gas. 
BAB IV 
PENYELENGGARAAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN 
Bagian Kesatu 
Umum 
Pasal 5 
(1)   
Setiap pembangunan baru, rehabilitasi/renovasi, pelestarian/
pemugaran suatu bangunan  wajib  mendapatkan IMB terlebih dahulu dari walikota; 
(2)   
Walikota 
dalam  menyelenggarakan  pemberian 
IMB berdasarkan pada:  
a.   
peraturan daerah tentang izin mendirikan bangunan; dan  
b.   
RDTRK, Peraturan Zonasi dan RTBL. 
Bagian Kedua 
Kelembagaan 
Pasal  6 
(1) 
Walikota dalam penyelenggaraan IMB dikelola oleh Badan. 
(2) 
Walikota 
dapat  melimpahkan  sebagian 
kewenangan penerbitan  IMB  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat 
(1)  kepada Camat. 
(3) 
Pelimpahan 
sebagian  kewenangan  sebagaimana 
dimaksud  pada ayat (2)
mempertimbangkan: 
a.   
efisiensi dan efektivitas; 
b.  
mendekatkan 
pelayanan  pemberian  IMB 
kepada  masyarakat; dan 
c.   
fungsi 
bangunan,  klasifikasi  bangunan, 
batasan  luas  tanah, an/atau  luas 
bangunan  yang  mampu 
diselenggarakan kecamatan. 
(4) 
Camat 
melaporkan  pelaksanaan  sebagian 
kewenangan sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat 
(2)  kepada  Walikota dengan  tembusan 
kepada  Badan dan Dinas.  
Bagian Ketiga 
Tata Cara Mengajukan Permohonan IMB 
Pasal 7 
(1)   
Pemohon mengajukan permohonan IMB kepada Walikota. 
(2)   
Permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: 
a.
Bangunan gedung; atau 
b.
Bangunan bukan gedung. 
(3)  IMB  bangunan 
gedung  atau  bangunan 
bukan  gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berupa pembangunan baru, merehabilitasi/renovasi, atau
pelestarian/pemugaran. 
(4)
Tata cara permohonan IMB diatur dengan Peraturan Walikota.   
Pasal 8 
(1)  Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf a berfungsi sebagai: 
 
a.  hunian;  
b.  keagamaan; 
 
c.  usaha;   
d.  sosial dan budaya; dan  
e.  ganda/campuran.  
(2)  Fungsi hunian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas  bangunan 
gedung  hunian  rumah 
tinggal  sederhana  dan rumah tinggal tidak sederhana.  
(3)  Fungsi  keagamaan 
sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1)  huruf 
b terdiri  atas  mesjid/mushola,  gereja, 
vihara,  klenteng,  pura, 
dan bangunan pelengkap keagamaan. 
 
(4)  Fungsi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas  perkantoran 
komersial,  pasar  modern, 
ruko,  rukan, mal/supermarket,
hotel, restoran, dan lain-lain sejenisnya. 
 
(5)  Fungsi  sosial 
dan  budaya  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat 
(1) huruf  d  terdiri 
atas  bangunan  olahraga, 
bangunan  pemakaman, bangunan  kesenian/kebudayaan,  bangunan 
pasar  tradisional, bangunan  terminal/halte  bus, 
bangunan  pendidikan,  bangunan kesehatan,  kantor 
pemerintahan,  bangunan  panti 
jompo,  panti asuhan, dan
lain-lain sejenisnya.  
(6) Fungsi 
ganda/campuran  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1) huruf 
e  terdiri  atas 
hotel,  apartemen,  mal/shopping 
center,  sport hall, dan/atau
hiburan. 
Pasal 9 
(1)  
Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 diklasifikasikan berdasarkan: 
a.  Tingkat Kompleksitas; 
b.  Tingkat Permanensi; 
c.  Tingkat Risiko
Kebakaran; 
d.  Tingkat Zonasi Gempa; 
e.  Tingkat Lokasi; 
f.   Tingkat Ketinggian; 
g.  Tingkat Kepemilikan. 
(2)  
Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana
ayat (1) huruf a meliputi: 
a.  Bangunan Gedung
Sedehana; 
b.  Bangunan Gedung
Tidak Sederhana; 
c.  Bangunan Gedung
Khusus. 
(3)  
Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana ayat
(1) huruf b meliputi: 
a.  Bangunan Gedung Permanen; 
b.  Bangunan Gedung Semi Permanen; 
c.  Bangunan Gedung Non Permanen; 
d.  Bangunan gedung darurat atau
sementara. 
(4)  
Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran
sebagaimana ayat (1) huruf a meliputi: 
a.  Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Tinggi; 
b.  Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Sedang; 
c.  Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Rendah. 
(5)  
Klasifikasi berdasarkan tingkat zonasi gempa sebagaimana
Pasal 8 huruf d meliputi : 
a.  Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona I/Minor; 
b.  Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona II/Minor; 
c.  Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona III/Sedang; 
d.  Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona IV/Sedang; 
e.  Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona V/Kuat; 
f.  
Bangunan Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona VI/Kuat. 
(6)  
Klasifikasi berdasarkan tingkat lokasi sebagaimana Pasal
8 huruf e meliputi: 
a.  Bangunan Gedung di Lokasi Padat; 
b.  Bangunan Gedung di Lokasi
Sedang; 
c.  Bangunan Gedung di Lokasi
Renggang. 
(7)  
Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana Pasal 8
huruf f meliputi: 
a. 
Bangunan Gedung bertingkat tinggi dengan jumlah lantai
lebih dari 4 (empat) lantai; 
b. 
Bangunan Gedung bertingkat sedang dengan jumlah lantai 3
(tiga) sampai dengan 4 (empat) lantai; 
c. 
Bangunan Gedung bertingkat rendah dengan jumlah lantai 1
(satu) sampai dengan 2 (dua) lantai. 
(8)  
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana Pasal 8
huruf g meliputi: 
a. 
Bangunan
Gedung Milik Negara / Daerah; 
b. 
Bangunan Gedung Milik Yayasan dikatagorikan sama dengan
milik negara dalam pengaturan berdasarkan kepemilikannya; 
c. 
Bangunan
Gedung Milik Badan Usaha; 
d. 
Bangunan
Gedung Milik Perorangan; 
e. 
Bangunan Gedung Konsul Negara Asing dan Bangunan Gedung
Diplomatik lainnya dikatagorikan sebagai Bangunan Milik Perorangan. 
Pasal 10 
(1)  
Bangunan bukan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
ayat (3) huruf b meliputi: 
a.  konstruksi
pembatas/penahan/pengaman: 
1)  pagar; 
2)  tanggul; 
3)  turap/siring/pelengkap. 
b.  konstruksi penanda
masuk: 
1)  gapura; 
2)  gerbang. 
c.  konstruksi
perkerasan: 
1)  jalan; 
2)  lapangan parkir; 
3)  lapangan upacara; 
4)  lapangan olahraga
terbuka; 
5)  lapangan penumpukan
/ depo container. 
d.  konstruksi
penghubung: 
1)  jembatan; 
2)  box culvert; 
3)  gorong-gorong; 
4)  jembatan laying; 
5)  jembatan
penyeberangan; 
6)  titian. 
e.  konstruksi
kolam/reservoir bawah tanah: 
1)  kolam renang; 
2)  kolam pengolahan air; 
3)  reservoir air bawah
tanah. 
f.  
konstruksi
menara: 
1)  menara antena; 
2)  menara reservoir; 
3)  cerobong. 
g.  konstruksi monumen 
1)  tugu; 
2)  patung. 
h. konstruksi instalasi 
1)  instalasi listrik,
tiang listrik; 
2)  instalasi telepon,
tiang telepon; 
3)  instalasi pengolahan; 
4)  instalasi saluran
pembuangan. 
i.  
konstruksi
reklame/papan nama   
1)  bando; 
2)  billboard; 
3)  baliho; 
4)  megatron; 
5)  papan nama. 
Pasal 11 
(1)  
Pemohon 
mengajukan  permohonan  IMB 
sebagaimana  dimaksud dalam Pasal
7 melengkapi persyaratan dokumen: 
a.   
administrasi; dan 
b.  
rencana teknis. 
(2)  
Persyaratan 
dokumen  administrasi  sebagaimana 
dimaksud  pada ayat (1) huruf a
meliputi: 
a.   
tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau
perjanjian pemanfaatan tanah; 
b.  
data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi); 
c.   
data pemilik bangunan; 
d.  
surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa; 
e.   
surat 
pemberitahuan  pajak  terhutang 
bumi  dan  bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan; 
f.    
dokumen 
analisis  mengenai  dampak 
dan  gangguan  terhadap lingkungan,  atau 
upaya  pemantauan  lingkungan 
(UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban;dan 
g.   
Persyaratan lain yang dianggap perlu. 
(3)  
Persyaratan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi: 
a.   
gambar rencana/arsitektur bangunan; 
b.  
gambar sistem struktur; 
c.   
gambar sistem utilitas; 
d.  
perhitungan 
struktur  dan/atau  bentang 
struktur  bangunan disertai  hasil 
penyelidikan  tanah  bagi 
bangunan  2  (dua) 
lantai atau lebih; 
e.   
perhitungan 
utilitas  bagi  bangunan 
gedung  bukan  hunian rumah tinggal; dan 
f.    
data penyedia jasa perencanaan. 
(4)  
Dokumen 
rencana  teknis  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat 
(3) disesuaikan dengan klasifikasi bangunan.   
Pasal  12 
(1)   
Instansi yang membidangi perizinan memberikan tanda
terima Permohonan IMB apabila memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. 
(2)   
Tim Teknis mengadakan pemeriksaan lapangan terhadap
Permohonan IMB yang diajukan menurut peraturan yang berlaku. 
(3)   
Setelah permohonan diterima sebagaimana tersebut dalam
ayat (1) Tim Teknis membuat Berita Acara Pemeriksaan Lapangan sesuai peraturan
yang berlaku. 
(4)   
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Lapangan itu Tim
Teknis / Instansi Teknis membuat Rekomendasi yang berisi penerimaan Permohonan
IMB disertai dengan besarnya retribusi yang wajib dibayar oleh pemohon
berdasarkan ketentuan yang berlaku, atau penolakan Permohonan IMB disertai
alasan penolakan sesuai ketentuan yang berlaku. 
(5)   
Pemohon membayar retribusi berdasarkan penetapan pada
ayat (4) untuk Permohonan IMB yang diterima. 
(6)   
Setelah pemohon melunasi retribusi yang telah ditetapkan
sebagaimana tersebut dalam ayat (5), Instansi yang membidangi perizinan
menandatangani dan menerbitkan IMB. 
Bagian Keempat 
Jangka Waktu Proses IMB 
Pasal 13 
Jangka waktu proses IMB
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Walikota. 
Bagian Kelima 
Izin Mendirikan Bangunan 
Pasal 14 
(1)   
IMB ditandatangani oleh Walikota atau pejabat lain yang
ditunjuk. 
(2)   
IMB berlaku selama bangunan yang dimintakan izin tidak
mengalami perubahan bentuk dan fungsinya. 
(3)   
IMB pada bangunan yang berdiri diatas tanah sewa berlaku
sampai masa sewa berakhir, kecuali ada bukti perpanjangan masa sewa. 
(4)   
Pemutakhiran data atas permohonan pemilik bangunan gedung
dan/atau perubahan non teknis lainnya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. 
(5)   
Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat membekukan dan
mencabut IMB apabila : 
a.   
1 (satu) tahun setelah berlakunya IMB, pemegang IMB belum
melaksanakan pekerjaannya; 
b.  
Selama 3 (tiga) bulan berturut-turut pekerjaan berhenti
dan tidak dilanjutkan; 
c.   
Pendirian bangunan tidak sesuai dengan izin atau
ketentuan yang berlaku; 
d.  
Izin yang telah diberikan didasarkan pada
keterangan-keterangan yang keliru; 
e.   
Pembangunan menyimpang dari rencana dan syarat-syarat
yang disahkan. 
(6)   
Pencabutan IMB diberikan melalui Keputusan Walikota
dengan mencantumkan alasannya. 
(7)   
Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
setelah terlebih dulu ada pemberitahuan dan peringatan secara tertulis kepada
Pemegang izin. 
(8)   
Pemegang izin dapat mengajukan keberatan terhadap
pembatalan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dan
peringatan secara tertulis. 
(9)   
jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung
sejak peringatan ketiga atas pelanggaran, pemilik bangunan gedung tidak
melakukan perbaikan maka IMB dibekukan. 
(10)
jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung
sejak dikenakan sanksi atas pelanggaran, pemilik bangunan gedung tidak
melakukan perbaikan dan/atau penyelesaian atas sanksi yang dikenakan IMB
dicabut. 
Pasal 15 
(1)   
Permohonan IMB ditolak apabila : 
a.     
Bangunan yang akan didirikan dinilai tidak memenuhi
persyaratan administrasi maupun teknis bangunan gedung; 
b.     
Bangunan yang akan didirikan diatas lokasi/tanah yang
penggunaannya tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarmasin; 
c.      
Bangunan mengganggu atau merusak lingkungan sekitarnya; 
d.     
Bangunan akan mengganggu lalu lintas, aliran air (air
hujan), cahaya atau bangunan yang telah ada; 
e.     
Fungsi bangunan tidak sesuai dengan fungsi kawasan; 
f.       
Lokasi dimana bangunan akan didirikan tidak memenuhi
syarat kesehatan; 
g.     
Adanya keberatan dari masyarakat yang dibenarkan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Kota. 
(2)   
Penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan secara tertulis oleh Instansi yang membidangi perizinan dengan
menyebutkan alasan penolakannya. 
Pasal 16 
IMB tidak diperlukan dalam
hal : 
a.     
Merawat/memperbaiki bangunan dengan tidak merubah denah,
konstruksi maupun arsitektur bangunan semula yang telah diizinkan; 
b.     
Mendirikan bangunan yang tidak permanen untuk memelihara
binatang jinak atau taman dengan syarat-syarat sebagai berikut: 
1)     
Ditempatkan di halaman belakang; 
2)     
Luas tidak melebihi 10 (sepuluh) meter persegi dan
tingginya tidak lebih dari 2 (dua) meter; 
c.      
Mendirikan bangunan yang sifatnya sementara yang
dipergunakan untuk pameran, perayaan atau pertunjukan paling lama 1 (satu) bulan; 
d.     
Memperbaiki pondasi untuk mesin-mesin dalam gedung; 
e.     
Membuat kolam hias, taman dan patung-patung, tiang
bendera di halaman pekarangan rumah. 
Pasal 17 
Setiap orang atau badan
dilarang mendirikan bangunan apabila : 
a.     
Tidak memiliki IMB; 
b.     
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan/atau
syarat-syarat dalam IMB; 
c.      
Menyimpang dari rencana pembangunan yang ditetapkan dalam
IMB; 
d.     
Mendirikan bangunan diatas tanah orang lain tanpa izin
pemiliknya atau kuasanya yang sah. 
BAB V 
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN 
Bagian Kesatu 
Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan 
Pasal 18 
(1)   
Pendirian bangunan harus dilaksanakan sesuai dengan
rencana dan ketentuan yang ditetapkan dalam dokumen IMB. 
(2)   
Pendirian bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah terbitnya IMB. 
(3)   
Terhadap pembangunan di lokasi tertentu, Pemegang IMB
diwajibkan menutup lokasi tempat mendirikan bangunan dengan pagar pengaman yang
rapat. 
(4)   
Apabila dalam mendirikan bangunan terdapat kegiatan yang
akan berdampak pada timbulnya kerusakan terhadap fasilitas umum dan sarana
pendukungnya, Pemegang izin harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang
bertanggungjawab terhadap fasilitas umum tersebut. 
(5)   
Pemegang IMB bertanggung jawab terhadap kerusakan pada
bangunan yang berdekatan sebagai akibat dari kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan. 
(6)   
Bangunan gedung maupun sarana dan prasarana yang berada
pada persimpangan jalan tidak boleh mengganggu pengguna jalan. 
Pasal 19 
(1)   
Selama kegiatan mendirikan bangunan berlangsung, dilarang
menempatkan bahan bangunan serta melakukan pekerjaan lainnya di atas jalan, bahu
jalan maupun di atas trotoar. 
(2)   
Selama kegiatan mendirikan bangunan dilakukan, Pemegang
IMB wajib menyiapkan Salinan IMB beserta gambar IMB di lokasi pekerjaan untuk
kepentingan pemeriksaan. 
(3)   
Instansi yang membidangi Bangunan berwenang untuk : 
a.   
memasuki dan memeriksa tempat pelaksanaan pekerjaan
mendirikan bangunan setiap saat pada jam kerja; 
b.  
memeriksa apakah pelaksanaan pembangunan sudah dilakukan
sesuai dengan syarat teknis yang tercantum dalam IMB; 
c.   
memerintahkan pemindahan/pembuangan bahan bangunan yang
tidak memenuhi syarat, dan alat-alat yang dianggap berbahaya serta merugikan
keselamatan/kesehatan umum. 
Pasal 20 
Pemegang IMB wajib mengajukan
permohonan baru apabila akan melaksanakan penambahan dan/atau perubahan
bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam IMB. 
Pasal  21 
(1)  
Pemilik 
bangunan  yang  melanggar 
ketentuan  sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi peringatan tertulis. 
(2)  
Walikota 
memberikan  peringatan  tertulis 
sebanyak-banyaknya  3  (tiga) 
kali  berturut-turut  dengan 
selang  waktu masing-masing 7
(tujuh) hari kalender.   
Pasal  22 
(1) 
Pemilik 
bangunan  yang  tidak 
mengindahkan  sampai  dengan peringatan  tertulis 
ketiga  dan  tetap 
tidak  melakukan  perbaikan atas  pelanggaran, 
dikenakan  sanksi  pembatasan 
kegiatan pembangunan. 
(2) 
Pengenaan 
sanksi  pembatasan  kegiatan 
pembangunan dilaksanakan 
paling  lama 14  (empat 
belas)  hari  kalender terhitung sejak peringatan tertulis
ketiga diterima.  
Pasal  23 
(1) 
Pemilik 
bangunan  yang  dikenakan 
sanksi  pembatasan  kegiatan pembangunan wajib melakukan
perbaikan atas pelanggaran. 
(2) 
Pemilik 
bangunan  yang  tidak 
mengindahkan  sanksi  pembatasan kegiatan pembangunan  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Pasal 
22 dikenakan  sanksi  berupa 
penghentian  sementara  pembangunan dan pembekuan IMB. 
(3) 
Pemilik 
bangunan  yang  telah 
dikenakan  sanksi  sebagaimana dimaksud  pada 
ayat  (2)  wajib 
melakukan perbaikan  atas
pelanggaran  dalam  waktu 
14  (empat  belas) 
hari  kalender terhitung sejak
tanggal pengenaan sanksi.  
Pasal  24 
Pemilik  bangunan 
yang  tidak  mengindahkan 
sanksi  penghentian sementara
pembangunan dan pembekuan IMB sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 
23  ayat  (2) 
dikenakan  sanksi  berupa 
penghentian  tetap
pembangunan,  pencabutan  IMB, 
dan  surat  perintah 
pembongkaran bangunan.   
BAB VI 
PENERTIBAN IMB 
Pasal 25 
(1)  Bangunan  yang 
sudah  terbangun  sebelum 
adanya  RDTRK,  RTBL, dan/atau RTRK dan tidak memiliki
IMB  yang bangunannya sesuai dengan  lokasi, 
peruntukkan,  dan  penggunaan 
yang  ditetapkan dalam RDTRK,
RTBL, dan/atau RTRK dilakukan pemutihan.  
(2) 
Pemutihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya 1 (satu) kali. 
(3) 
Dalam  hal  pemilik 
bangunan  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat (1)  tidak 
melakukan  pemutihan  dikenakan 
sanksi  administratif berupa  peringatan 
tertulis  untuk  mengurus 
IMB  dan  perintah pembongkaran bangunan gedung.   
(4) 
Peringatan 
tertulis  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (3) dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam selang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.  
(5) 
Pemilik 
bangunan  yang  tidak 
mengindahkan  peringatan  tertulis 
sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (4)  dikenakan 
sanksi  perintah pembongkaran
bangunan gedung.   
Pasal  26 
Bangunan  yang 
sudah  terbangun  sebelum 
adanya  RDTRK,  RTBL, dan/atau RTRK dan tidak memiliki
IMB  yang bangunannya tidak sesuai
dengan  lokasi,  peruntukkan, 
dan/atau  penggunaan  yang 
ditetapkan dalam  RDTRK,  RTBL, 
dan/atau  RTRK  dikenakan 
sanksi  administratif berupa
perintah pembongkaran bangunan gedung.   
Pasal  27 
(1) 
Bangunan  yang  sudah 
terbangun  sesudah  adanya 
RDTRK,  RTBL, dan/atau RTRK
dan  tidak memiliki IMB  yang bangunannya sesuai dengan  lokasi, 
peruntukkan,  dan  penggunaan 
yang  ditetapkan dalam  RDTRK, 
RTBL,  dan/atau  RTRK 
dilakukan  sanksi administratif
dan/atau denda.  
(2) 
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa peringatan tertulis  untuk  mengurus 
IMB  dan  perintah pembongkaran bangunan gedung.  
(3) 
Selain  sanksi  administratif 
sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (2) dapat dikenakan  sanksi 
denda  paling  banyak 
10  %  (sepuluh 
per  seratus) dari nilai bangunan. 
(4) 
Peringatan 
tertulis  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (2) dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam selang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.  
(5) 
Pemilik 
bangunan  yang  tidak 
mengindahkan  peringatan  tertulis sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (4) 
dikenakan  sanksi  perintah pembongkaran bangunan gedung.   
BAB VII 
PEMBONGKARAN 
Pasal  28 
(1)  
Walikota 
menetapkan  bangunan  untuk 
dibongkar  dengan surat  penetapan 
pembongkaran  sebagai  tindak 
lanjut  dari dikeluarkannya surat
perintah pembongkaran.  
(2)  
Surat 
penetapan  pembongkaran  sebagaimana 
dimaksud  pada ayat  (1) 
memuat  batas  waktu 
pembongkaran,  prosedur
pembongkaran,  dan  ancaman 
sanksi  terhadap  setiap pelanggaran.  
(3)  
Pembongkaran 
bangunan  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1) merupakan kewajiban pemilik bangunan.  
(4)  
Dalam  hal  pembongkaran 
tidak  dilaksanakan  oleh 
pemilik bangunan  terhitung  30 
(tiga  puluh)  hari 
kalender  sejak  tanggal penerbitan  perintah 
pembongkaran,  pemerintah  daerah 
dapat melakukan pembongkaran atas bangunan.   
(5)  
Biaya 
pembongkaran  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (4) dibebankan  kepada 
pemilik  bangunan  ditambah 
denda administratif  yang  besarnya 
paling  banyak  10 
%  (sepuluh  per seratus) dari nilai total bangunan. 
(6)  
Biaya 
pembongkaran  dan  denda 
sebagaimana  dimaksud  pada ayat 
(5)  ditanggung  oleh 
pemerintah  daerah  bagi 
pemilik bangunan hunian rumah tinggal yang tidak mampu. 
(7)     
Pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara
tertib dan mempetimbangkan keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya. 
(8)     
Pembongkaran bangunan gedung sebagaimana harus sesuai
dengan ketetapan perintah pembongkaran atau persetujuan pembongkaran oleh
Pemerintah Kota. 
(9)     
Pembongkaran bangunan gedung meliputi kegiatan penetapan
pembongkaran, pelaksanaan pembongkaran dan pengawasan pembongkaran bangunan
gedung, yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembongkaran secara umum
serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 
(10) 
Tata cara / ketentuan penetapan pembongkaran, pelaksanaan
pembongkaran dan pengawasan pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota. 
BAB VIII 
RETRIBUSI 
Pasal  29  
(1) 
Retribusi 
pelayanan  pemberian  IMB 
sebagaimana  dimaksud dalam  Pasal 
12  ayat  (5) 
merupakan  retribusi  golongan 
perizinan tertentu. 
(2) 
Retribusi  IMB  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat 
(1)  dikenakan pada setiap
bangunan gedung dan bangunan bukan gedung. 
(3) 
Pemberian  IMB  untuk 
bangunan  milik  Pemerintah 
atau pemerintah daerah tidak dikenakan retribusi.  
(4)  Retribusi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah.  
Pasal  30 
(1) 
Walikota 
dapat  memberikan  pengurangan 
dan/atau keringanan penarikan retribusi IMB berdasarkan kriteria: 
a.   
bangunan fungsi sosial dan budaya; dan 
b.  
bangunan 
fungsi  hunian  bagi 
masyarakat  berpenghasilan rendah. 
(2) 
Walikota 
dapat  memberikan  pembebasan 
retribusi  IMB berdasarkan
kriteria: 
a.   
bangunan fungsi keagamaan; dan 
b.   bangunan bukan gedung sebagai
sarana dan prasarana umum yang tidak komersial.  
Pasal  31 
(1)  Komponen
biaya perhitungan retribusi IMB meliputi kegiatan: 
a.   
peninjauan desain/gambar; dan 
b.  
pemantauan pelaksanaan pembangunan. 
(2)  Penyelenggaraan  retribusi 
atas  IMB  berpedoman 
pada  peraturan
perundang-undangan.  
BAB IX 
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN 
Pasal  32 
(1) 
Pengawasan  dan  pengendalian 
terhadap  penyelenggaraan bangunan
dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan
dan/atau pengawasan. 
(2) 
Kegiatan 
pengawasan  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1) meliputi 
pemeriksaan  fungsi  bangunan, 
persyaratan  teknis bangunan, dan
keandalan bangunan. 
(3) 
Kegiatan 
pengendalian  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1) meliputi peninjauan lokasi, pengecekan
informasi atas pengaduan masyarakat, dan pengenaan sanksi.  
BAB X 
SOSIALISASI 
Pasal  33 
(1) 
Pemerintah daerah melaksanakan sosialisasi kepada
masyarakat dalam pemberian IMB antara lain terkait dengan: 
a.   
keterangan rencana kota; 
b.  
persyaratan yang perlu dipenuhi pemohon; 
c.   
tata  cara  proses 
penerbitan  IMB  sejak 
permohonan  diterima sampai dengan
penerbitan IMB; dan 
d.  
teknis perhitungan dalam penetapan retribusi IMB. 
(2) 
Keterangan 
rencana  kota  sebagaimana 
dimaksud pada  ayat  (1) 
huruf  a  antara 
lain  berisi  persyaratan 
teknis meliputi: 
a.   
fungsi 
bangunan  gedung  yang 
dapat  dibangun  pada 
lokasi bersangkutan; 
b.  
ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan; 
c.   
 jumlah  lantai/lapis 
bangunan  gedung  di 
bawah  permukaan tanah  dan koefisien 
tapak  basement  (KTB) 
yang  diizinkan, apabila membangun
di bawah permukaan tanah; 
d.  
garis 
sempadan  dan  jarak  bebas 
minimum  bangunan  gedung yang diizinkan; 
e.   
koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum yang diizinkan;  
f.    
koefisien lantai bangunan (KLB) maksimum yang diizinkan; 
g.   
koefisien daerah hijau (KDH) minimum yang diwajibkan; 
h.  
ketinggian
bangunan maksimum yang diizinkan; 
i.    
jaringan utilitas kota; dan 
j.    
keterangan lainnya yang terkait. 
BAB XI 
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN 
Pasal  34 
Walikota  melakukan 
pengawasan  terhadap  pelaksanaan pemberian IMB di kota.   
Pasal  35 
Walikota  melakukan 
pembinaan  pemberian  IMB  di
kota.   
Pasal  36 
Pembinaan  Walikota 
sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal  35 berupa  pengembangan, 
pemantauan,  dan  evaluasi 
pemberian IMB.   
BAB XII 
PELAPORAN 
Pasal  37 
(1)  
Walikota 
melaporkan  pemberian  IMB 
kepada  Gubernur dengan tembusan
kepada Menteri. 
(2)  
Laporan 
sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1) disampaikan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.   
BAB XIII 
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG 
Bagian Kesatu 
Persyaratan Administrasi 
Pasal 38 
(1)     
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, meliputi: 
a.   
Status   hak   atas  
tanah,   dan/atau   izin  
pemanfaatan   dari pemegang hak
atas tanah; 
b.   
Status kepemilikan bangunan gedung; dan 
c.   
IMB
gedung. 
(2)   Setiap orang atau
badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. 
(3)  Pemerintah
Kota melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan
pemanfaatan. 
Pasal 39 
(1)      Status hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a adalah penguasaan
atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat maupun SKKT atau bentuk lain
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai tanda bukti
penguasaan/kepemilikan tanah. 
(2)      Izin pemanfaatan
dari pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf
a di atas merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis
antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan.  
Pasal 40 
(1)     
Status
kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf
b merupakan surat keterangan bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kota berdasarkan hasil pendataan bangunan gedung. 
(2)     
Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak
lain. 
(3)     
Dalam hal kepemilikan bangunan gedung bukan pemilik
tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) huruf b harus
mendapat persetujuan dari pemilik tanah. 
Pasal 41 
IMB dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf c adalah surat bukti dari Pemerintah Kota bahwa pemilik bangunan
gedung dapat mendirikan bangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung
yang telah disetujui oleh Pemerintah Kota. 
Bagian Kedua 
Persyaratan Tata Bangunan 
Paragraf 1 
Peruntukan dan Intensitas Bangunan 
Pasal 42 
(1)     
Pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam: 
a.   
RTRW
Kota Banjarmasin; 
b.   
Rencana Detail Tata Ruang Kota Banjarmasin; 
c.   
RTBL untuk lokasi yang bersangkutan; 
d.   
Peraturan Zonasi. 
(2)     
Untuk pembangunan di atas jalan umum, saluran, atau
sarana lain, atau yang melintasi sarana dan prasarana jaringan kota, atau di
bawah/di atas air, atau pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi,
harus mendapat persetujuan khusus dari Walikota. 
Paragraf 2 
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) 
Pasal 43 
Persyaratan tata bangunan
untuk suatu kawasan lebih lanjut akan disusun dan ditetapkan dalam Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL). 
Pasal 44 
(1)     
Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan
harus memenuhi kepadatan bangunan yang diatur dalam KDB sesuai yang ditetapkan
untuk lokasi yang bersangkutan. 
(2)     
KDB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya
kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan
dan kenyamanan bangunan. 
(3)     
Ketentuan besarnya KDB pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau yang diatur dalam RTBL untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 
(4)     
Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain,
ditentukan KDB maksimum 60% (enam puluh persen). 
Pasal 45 
(1)     
KLB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran,
kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan
kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum. 
(2)     
Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku. 
Pasal 46 
(1)     
KDH ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan
air permukaan tanah. 
(2)     
Ketentuan besarnya KDH pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku. 
(3)     
Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain,
ditentukan KDH minimum 30% (tiga puluh persen). 
Pasal 47 
(1)      Ketinggian bangunan
ditentukan sesuai dengan RTRW Kota. 
(2)      Untuk masing-masing
lokasi yang belum dibuat tata ruangnya, ketinggian maksimum bangunan ditetapkan
oleh Dinas dengan mempertimbangkan lebar jalan, fungsi bangunan, keselamatan
bangunan, serta keserasian dengan lingkungannya. 
(3)      Ketinggian bangunan
deret maksimum 4 (empat) lantai. 
Paragraf 3 
Arsitektur Bangunan Gedung 
Pasal 48 
(1)     
Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi
persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang, serta keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta
pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap
penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. 
(2)     
Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur
dan lingkungan yang ada di sekitarnya. 
(3)     
Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan
gedung, dan keandalan bangunan gedung. 
(4)     
Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau
yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. 
Pasal 49 
(1)     
Setiap bangunan tidak diperbolehkan menghalangi pandangan
lalu lintas. 
(2)     
Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak
diperbolehkan mengganggu atau menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan umum,
keseimbangan/pelestarian lingkungan dan kesehatan lingkungan. 
(3)     
Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak
diperbolehkan dibangun/berada diatas sungai/saluran/selokan/parit drainase kota. 
(4)     
Khusus untuk daerah-daerah tertentu, yang mempunyai
sungai dengan lebar lebih dari 50M (limapuluh meter), pembangunan bangunan di
atas sungai dimungkinkan dengan struktur bangunan khusus dan harus mendapat
persetujuan dari Walikota setelah mendengar pendapat para ahli dengan tetap
mempertimbangkan tidak mengganggu fungsi sungai dan merusak lingkungan. 
Paragraf 4 
Konstruksi Bangunan Panggung 
Pasal 50 
Setiap bangunan gedung yang
dibangun wajib menggunakan konstruksi pondasi dengan sistem panggung kecuali
bangunan tertentu yang secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dengan sistem panggung; 
Paragraf
5 
Garis
Sempadan 
Pasal 51 
(1)      Garis sempadan
pondasi bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan (rencana jalan)
ditentukan berdasarkan lebar jalan/rencana jalan, fungsi jalan dan peruntukan
kavling/ kawasan. 
(2)      Letak garis sempadan
pondasi bangunan terluar tersebut ayat (1), apabila tidak ditentukan lain
adalah separuh lebar ruang milik jalan (rumija) dihitung dari as jalan. 
(3)     
Untuk lebar jalan yang kurang dari 5M (lima meter), letak
garis sempadan adalah minimal 1,5M (satu koma lima meter) dihitung dari tepi
jalan. 
(4)     
Letak garis sempadan pondasi bangunan terluar pada bagian
samping kiri, samping kanan, dan belakang yang berbatasan dengan tetangga
bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 1,0M (satu koma nol meter) dari
batas kavling, atau atas dasar kesepakatan dengan tetangga yang saling
berbatasan. 
(5)     
Garis terluar suatu tritis/oversteck yang menghadap kearah tetangga, tidak dibenarkan melewati
batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga. 
(6)     
Apabila garis sempadan bangunan ditetapkan berimpit
dengan garis sempadan pagar, cucuran atap suatu tritis/oversteck harus diberi talang dan pipa talang harus disalurkan
sampai ke tanah. 
(7)     
Dilarang menempatkan lubang angin/ventilasi/jendela pada
dinding yang berbatasan langsung dengan tetangga. 
(8)     
Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah
permukaan tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak
diperbolehkan melewati batas pekarangan. 
Pasal 52 
(1)     
Garis sempadan untuk bangunan gedung yang dibangun di
tepi sungai, mengacu kepada ketentuan garis sempadan sungai. 
(2)     
Besarnya garis sempadan sungai sebagaimana pada ayat (1)
ditetapkan oleh Walikota. 
Pasal 53 
(1)      Jarak antara
masa/blok bangunan satu lantai yang satu dengan lainnya dalam satu kavling atau
antara kavling minimum adalah 4M (empat meter). 
(2)      Setiap bangunan umum
harus mempunyai jarak masa/blok bangunan dengan bangunan di sekitarnya sekurang-kurangnya
6M (enam meter)  dan 3M (tiga meter)
dengan batas kavling. 
(3)      Untuk bangunan
bertingkat, setiap kenaikan satu lantai jarak antara masa/blok bangunan yang
satu dengan lainnya ditambah dengan 0,5M (nol koma lima meter). 
(4)      Ketentuan lebih
rinci tentang jarak antar bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam standar
teknis yang berlaku. 
(5)      Tiap bangunan gedung
wajib menyediakan lahan parkir, ketentuan tentang angka kebutuhan parkir
tertera dibawah ini : 
 
Pasal 54 
(1)     
Garis
sempadan bangunan diukur dari muka bangunan sampai dengan as jalan dimuka
bangunan tersebut. 
(2)     
Garis
sempadan samping bangunan adalah garis yang ditarik dari sisi batas
kavling/sisi jalan sampai dengan samping bangunan yang berbatasan langsung
dengan jalan tersebut. 
(3)     
Garis
sempadan belakang bangunan adalah garis sempadan yang ditarik dari sisi jalan
atau batas kavling dengan belakang bangunan yang berbatasan langsung dengan
jalan tersebut. 
(4)     
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan arteri adalah 8,00M (delapan koma nol meter). 
(5)     
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan kolektor adalah 6,00M (enam koma nol meter). 
(6)     
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan lingkungan adalah 4,00M (empat koma nol meter). 
(7)     
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan lokal adalah 1,00M (satu koma nol meter). 
(8)     
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria gang adalah 0,80M (nol koma delapanpuluh meter). 
Paragraf
6 
Bangunan
Gedung Ruko 
Pasal
55 
(1)     
Bangunan Ruko yang disampingnya berbatasan langsung
dengan gang (jalan yang lebar kurang dari 4M) harus memberikan jarak minimal
0,80M (nol koma delapan puluh meter). 
(2)     
Bangunan Ruko tidak boleh dialih fungsikan terkecuali ada
rekemondasi dari Tim Ahli Bangunan Gedung. 
(3)     
Tambahan tingkatan untuk bangunan Ruko harus ada
persetujuan tetangga kiri, kanan dan belakang. 
(4)     
Bangunan Ruko wajib memakai pondasi dengan sistem
panggung/tidak diurug, sehingga dapat berfungsi sebagai resapan air. 
(5)     
Peil Bangunan Ruko maksimal 1,20M (satu koma dua puluh
meter) dari permukaan tanah asal. 
(6)     
Setiap bangunan Ruko yang berbatasan dengan jalan wajib
membuat drainase (sistem saluran) samping kiri dan kanan serta belakang
bangunan tersebut. 
(7)     
Apabila di depan Ruko tidak ada drainasenya, maka pemilik
Ruko wajib membuat drainase atau saluran pada Ruko tersebut. 
(8)     
Jalan masuk Ruko harus dibuat transparan/tidak massif
sehingga air larian tidak turun ke jalan. 
Paragraf 7 
Bangunan Gedung Sarang Burung Walet 
Pasal 56 
(1)     
Bangunan gedung sarang burung walet adalah bangunan yang
difungsikan sebagian atau seluruhnya untuk budidaya sarang burung walet. 
(2)     
Bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib memiliki
IMB sesuai dengan peruntukannya. 
(3)     
IMB untuk bangunan sarang burung walet terlebih dahulu
harus mendapat Rekomendasi Tim Teknis Sarang Burung Walet. 
(4)     
Bangunan Gedung sarang burung walet dapat diizinkan
apabila sudah mendapat rekomendasi Tim Teknis Izin Usaha Sarang Burung Walet,
izin Prinsip dan izin Gangguan (HO) dari Pemerintah Kota. 
(5)     
Bangunan sarang burung walet yang sudah ada sebelum
Peraturan Daerah ini ditetapkan dapat diberikan izin usaha perpanjangan sesuai
dengan kebijakan Pemerintah Kota Banjarmasin dan mendapat rekomendasi tim
teknis izin usaha sarang burung walet  
Paragraf
8 
Jembatan
Bangunan Gedung (JBG) 
Pasal
57 
(1)     
Setiap bangunan gedung apabila jalan menuju bangunan atau
halaman bangunan harus melintasi sungai dapat membangun jembatan. 
(2)     
Peil, lebar dan jumlah serta jarak jembatan dalam satu
kavling ditentukan oleh Dinas teknis yang menangani sungai. 
Paragraf 9 
Pagar 
Pasal 58 
(1)     
Prasarana
bangunan gedung yang berfungsi sebagai pembatas yang terbentuk pagar maka
tinggi pagar yang berbatasan dengan jalan maksimal 2,5M (dua koma lima meter)
diatas permukaan tanah dan bangunan bukan rumah tunggal maksimal 2,75M (dua
koma tujuhpuluh lima meter). 
(2)     
Pagar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tembus pandang dengan bagian bawahnya
dapat tidak tembus pandang (masif) maksimal setinggi 1M (satu meter) diatas
permukaan tanah. 
(3)     
Penggunaan
kawat berduri sebagai pemisah/pembatas disepanjang jalan umum tidak
diperbolehkan. 
(4)     
Tinggi pagar pembatas samping dan belakang maksimal 3M
(tiga meter). 
(5)     
Pagar yang dibuat ditikungan jalan harus tembus pandang
sehingga dapat dilihat pada dua sisi yang berlawanan. 
Paragraf 10 
Pembuangan Air (
Drainase ) 
Pasal 59 
(1)     
Pembangunan
gedung dan prasarana gedung apabila bagian depan/belakang dan samping persil
yang bersangkutan berbatasan dengan jalan dan belum terdapat jaringan saluran
kota/drainase kota, maka diwajibkan kepada pemilik bangunan untuk membangun
saluran/drainase pada perbatasan bagian depan/belakang dan samping persil
tersebut. 
(2)     
Untuk
saluran air hujan harus memenuhi ketentuan sebagai   berikut : 
a.   
setiap
pekarangan wajib dilengkapi dengan sistem saluran pembuangan air hujan; 
b.  
saluran-saluran
pembuangan air hujan harus mempunyai kapasitas daya tampung yang cukup besar
dan direncanakan berdasarkan frekwensi curah hujan 2 (dua) tahunan dan daya
resap tanah; 
c.   
saluran
pembuangan air hujan terbuat dari pasangan batu kali/beton berbentuk saluran
terbuka dan tertutup; 
d.  
kemiringan saluran harus dapat mengalirkan saluran air
hujan dengan baik agar bebas dari genangan air; 
e.   
air hujan yang jatuh diatas atap harus segera dapat
disalurkan ke bawah bangunan panggung yang berfungsi sebagai resapan air. 
(3)     
Untuk saluran air limbah rumah tangga harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut: 
a.   
bahan saluran harus sesuai dengan penggunaannya dan sifat
bahan yang hendak disalurkan; 
b.  
selanjutnya harus dipenuhi ketentuan tentang bahan
bangunan; 
c.   
tempat pembuangan tidak boleh langsung menghadap jalan; 
d.  
harus dibuatkan bak penampungan air limbah; 
e.   
bak penampung harus kedap air sehingga tidak merembes
keluar. 
(4)     
Pembangunan gedung dan prasarananya tidak boleh menutup
sungai dan drainase. 
(5)     
Pembangunan jembatan tidak boleh lebih rendah dari bahu
jalan atau peil air tertinggi. 
(6)     
Pembangunan perumahan wajib membuatkan saluran drainase
beserta gorong-gorong minimal diameter 80 cm (delapanpuluh centimeter) dalam
dan tidak boleh mematikan aliran sungai serta drainase. 
(7)     
Bekas perancah dan bekisting pembangunan jembatan harus
dibersihkan. 
(8)     
Setiap bangunan ataupun pengurukan tanah secara langsung
atau tidak langsung tidak diperbolehkan dibangun/berada di atas
sungai/saluran/selokan/parit pengairan, baik mengganggu ataupun tidak mengganggu
kelancaran fungsi drainase. 
Bagian Ketiga 
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan 
Pasal 60 
(1)     
Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan
hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak besar dan  penting terhadap lingkungan. 
(2)     
Setiap pemohon yang akan mengajukan permohonan IMB,
dimana setiap jenis usaha atau kegiatan bangunan tersebut menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan maka wajib dilengkapi dengan AMDAL. 
(3)     
Pemenuhan persyaratan wajib AMDAL mengikuti ketentuan
dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Instansi/Departemen teknis yang membidangi
bangunan gedung. 
Bagian Keempat 
Persyaratan Analisis Dampak Lalu Lintas 
Pasal 61 
Setiap rencana pembangunan
pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan wajib dilakukan analisa dampak lalu lintas. 
Pasal 62 
Ketentuan mengenai analisa
dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pasal 61 akan diatur lebih lanjut oleh
Peraturan Walikota. 
Bagian Kelima 
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung 
Paragraf 1 
Persyaratan Keselamatan 
Pasal 63 
(1)     
Setiap bangunan harus dibangun dengan mempertimbangkan
kekuatan, kekakuan, dan kestabilan dari segi struktur. 
(2)     
Peraturan/standar teknik yang harus dipakai ialah
peraturan/standar teknik yang berlaku di Indonesia yang meliputi SNI tentang
Tata Cara, Spesifikasi, dan Metode Uji yang berkaitan dengan bangunan gedung. 
(3)     
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya harus
diperhitungkan terhadap beban sendiri, beban yang dipikul, beban angin, dan
getaran dan gaya gempa sesuai dengan peraturan pembebanan yang berlaku. 
(4)     
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya yang dinyatakan
mempunyai tingkat gaya angin atau gempa yang cukup besar harus direncanakan
dengan konstruksi yang sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
(5)     
Setiap bangunan bertingkat lebih dari dua lantai, dalam
pengajuan perizinan mendirikan bangunannya harus menyertakan perhitungan
strukturnya sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
Pasal 64 
Dinas Tata Ruang, Cipta Karya
dan Perumahan mempunyai kewenangan 
untuk   memeriksa   konstruksi  
bangunan   yang dibangun/akan   dibangun  
baik   dalam rancangan bangunannya
maupun pada masa pelaksanaan pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap
bahaya gempa. 
Pasal 65 
(1)      Setiap bangunan
gedung untuk kepentingan umum, seperti bangunan peribadatan, bangunan
perkantoran, bangunan pasar/pertokoan/mal, bangunan perhotelan, bangunan
kesehatan, bangunan pendidikan, bangunan gedung pertemuan, bangunan pelayanan
umum, dan bangunan industri, serta bangunan hunian susun harus mempunyai sistem
pengamanan terhadap bahaya kebakaran, baik sistem proteksi pasif maupun sistem
proteksi aktif. 
(2)      Pemenuhan
persyaratan ketahanan terhadap bahaya kebakaran mengikuti ketentuan dalam
pedoman dan standar teknis yang berlaku serta sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI)/SKBI tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
pada bangunan rumah dan gedung. 
Pasal 66 
(1)      Penggunaan bahan
bangunan diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan produksi
dalam negeri/setempat, dengan kandungan lokal minimal 60% (enampuluh persen). 
(2)      Penggunaan bahan
bangunan harus mempertimbangkan keawetan dan kesehatan dalam pemanfaatan
bangunannya. 
(3)      Bahan bangunan yang
dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat teknik sesuai dengan fungsinya,
seperti yang dipersyaratkan dalam SNI tentang spesifikasi bahan bangunan yang
berlaku. 
(4)      Penggunaan bahan
bangunan yang mengandung racun atau bahan kimia yang berbahaya, harus mendapat
rekomendasi dari instansi terkait dan dilaksanakan oleh ahlinya. 
(5)      Pengecualian dari
ketentuan ayat (1) harus mendapat rekomendasi dari Walikota atau pejabat yang
ditunjuk olehnya. 
Paragraf 2 
Persyaratan Kesehatan 
Pasal 67 
(1)     
Jenis, mutu, sifat bahan, dan peralatan instalasi air
minum harus memenuhi standar dan ketentuan teknis yang berlaku. 
(2)     
Pemilihan sistem dan penempatan instalasi air minum harus
disesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan-bangunan lain,
bagian-bagian lain dari bangunan dan instalasi-instalasi lain sehingga tidak
saling membahayakan, mengganggu, dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan
pemeliharaan. 
(3)     
Pengadaan sumber air minum diambil dari PDAM atau dari
sumber yang dibenarkan secara resmi oleh yang berwenang. 
(4)     
Perencanaan dan instalasi jaringan air bersih mengikuti
dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
Pasal 68 
(1)      Dalam tiap-tiap
pekarangan harus dibuat saluran pembuangan air hujan yang mengarah ke saluran
umum kota. 
(2)      Jika hal dimaksud
ayat (1) tidak dimungkinkan, maka pembuangan air hujan harus dilakukan melalui
proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Dinas Teknis yang
menangani. 
(3)      Perencanaan dan instalasi jaringan air hujan mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
Pasal
69 
(1)      Semua air kotor yang
asalnya dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui
pipa-pipa tertutup dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. 
(2)      Pembuangan air
limbah kakus (berasal dari wc) disalurkan ke fasilitas pengelolaan limbah kakus. 
(3)      Pembuangan air
limbah non kakus dimaksud pada ayat (1) dapat dialirkan ke saluran umum kota. 
(4)      Jika hal dimaksud
ayat (3) Pasal ini tidak dimungkinkan, maka pembuangan air kotor non kakus
harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan
oleh Dinas Teknis yang menangani. 
(5)      Letak sumur-sumur
peresapan berjarak minimal 10M (sepuluh meter) dari sumber air minum/bersih
terdekat dan atau tidak berada di bagian atas kemiringan tanah terhadap letak
sumber air minum/bersih, sepanjang tidak ada ketentuan lain yang disyaratkan/
diakibatkan oleh suatu kondisi tanah. 
(6)      Perencanaan dan
instalasi jaringan air kotor mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar
teknis yang berlaku. 
Pasal
70 
(1)      Setiap pembuangan
baru/atau perluasan suatu bangunan yang diperuntukkan sebagai tempat kediaman
diharuskan menyediakan tempat sampah yang ditempatkan dan dibuat sedemikian
rupa sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga. 
(2)      Pengangkutan sampah
dari sumber sampah pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara langsung, dimana
proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan bersamaan yang diangkut
oleh petugas kebersihan. 
(3)      Setiap bangunan
gedung/rumah tangga yang belum terlayani pengangkutan sampah agar dapat
meminimalisir sampah organik dengan cara pengomposan. 
(4)      Dalam hal di
lingkungan sekitar terdapat tempat/kotak sampah induk, maka sampah dapat
ditampung pada kotak-kotak sampah induk yang disediakan tersebut. 
(5)      Perencanaan dan
instalasi tempat pembuangan sampah mengikuti ketentuan dalam pedoman dan
standar teknis yang berlaku. 
Pasal
71 
(1)      Setiap bangunan
gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/ buatan,
sesuai dengan fungsinya. 
(2)      Kebutuhan ventilasi
diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara dalam ruang
sesuai dengan fungsi ruang. 
(3)      Ventilasi alami
harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat
dibuka sesuai dengan kebutuhan dan standar teknis yang berlaku. 
(4)     
Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari
jendela, bukaan, pintu ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang
bersebelahan. 
(5)     
Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5%
(lima persen) dari luas lantai ruangan yang diventilasi. 
(6)     
Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi
alami yang tidak dapat memenuhi syarat. 
(7)     
Penempatan fan sebagai ventilasi buatan harus
memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau
sebaliknya. 
(8)     
Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut
harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni. 
(9)     
Penggunaan ventilasi buatan, harus memperhitungkan
besarnya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam
bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
Pasal
72 
(1)      Setiap bangunan
gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau buatan, sesuai dengan
fungsinya. 
(2)      Kebutuhan
pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk ruangan di dalam bangunan,
daerah luar bangunan, jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk
daerah di udara terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan. 
(3)      Pemanfaatan
pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal pada bangunan gedung,
disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung  
dan   fungsi   masing-masing ruang di dalam bangunan gedung. 
(4)      Besarnya kebutuhan
pencahayaan alami dan/atau buatan dalam bangunan gedung dihitung berdasarkan
pedoman dan standar teknis yang berlaku. 
Paragraf 3 
Persyaratan Kemudahan/Aksesibilitas 
Pasal 73 
(1)     
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
kemudahan yang meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan
gedung. 
(2)     
Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan horizontal dan
hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi, serta fasilitas dan
aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut
usia. 
(3)     
Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan
fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet,
tempat parkir, tempat sampah, fasilitas penyandang cacat, serta fasilitas
komunikasi dan informasi. 
Pasal
74 
(1)      Kemudahan hubungan
horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu
dan/atau koridor antar ruang. 
(2)      Penyediaan mengenai
jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan
fungsi ruang bangunan gedung. 
(3)      Ketentuan mengenai
kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis
yang berlaku. 
Pasal
75 
(1)      Kemudahan hubungan
vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan
sejenisnya serta lif dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung. 
(2)      Bangunan gedung yang
bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan
yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan
kesehatan pengguna. 
(3)      Bangunan gedung
untuk parkir harus menyediakan ram dengan kemiringan tertentu dan/atau sarana
akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna
sesuai standar teknis yang berlaku. 
(4)      Bangunan gedung
dengan jumlah lantai di atas 4 (empat) harus dilengkapi dengan sarana
transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
bangunan gedung. 
(5)      Ketentuan mengenai
kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengikuti ketentuan dalam standar
teknis yang berlaku. 
Pasal
76 
(1)      Akses evakuasi dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) harus disediakan
di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu
keluar darurat, dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau
bencana lainnya, kecuali rumah tinggal. 
(2)      Penyediaan akses
evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicapai dengan mudah
dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas. 
(3)      Ketentuan mengenai
penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku. 
Pasal 77 
(1)      Penyediaan fasilitas
dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali
rumah tinggal. 
(2)      Fasilitas bagi
penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk
penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung
dan lingkungannya. 
(3)      Ketentuan mengenai
penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis
yang berlaku. 
Pasal
78 
(1)      Kelengkapan
prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum. 
(2)      Kelengkapan
prasarana dan sarana tersebut harus memadai sesuai dengan fungsi bangunan umum
tersebut. 
(3)     
Kelengkapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi : 
a.   
sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya
kebakaran; 
b.   
tempat
parkir; 
c.   
sarana
transportasi vertikal; 
d.   
sarana
tata udara; 
e.   
fasilitas
penyandang cacat; 
f.    
sarana
penyelamatan. 
Bagian Kelima 
Persyaratan Kenyamanan dalam Bangunan 
Pasal 79 
(1)     
Setiap bangunan yang dibangun dapat mempertimbangkan
faktor kenyamanan bagi pengguna/penghuni yang berada di dalam dan di sekitar
bangunan. 
(2)     
Dalam merencanakan kenyamanan dalam bangunan gedung harus
memperhatikan: 
a.    kenyamanan ruang gerak; 
b.    kenyamanan hubungan
antar ruang; 
c.    kenyamanan kondisi
udara; 
d.    kenyamanan pandangan; 
e.   
kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran. 
(3)     
Ketentuan perencanaan, pelaksanaan, operasi dan
pemeliharaan kenyamanan dalam bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam pedoman
dan standar teknis yang berlaku. 
BAB XIV 
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG 
Bagian Pertama 
Umum 
Pasal 80 
(1)     
Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. 
(2)     
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara berkewajiban memenuhi persyaratan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII Peraturan Daerah ini. 
(3)     
Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik
bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung. 
(4)     
Pemilik bangunan gedung yang belum dapat memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab III Peraturan Daerah ini, tetap
harus memenuhi ketentuan tersebut secara bertahap. 
Bagian Kedua 
Pembangunan 
Paragraf 1 
Umum 
Pasal 81 
(1)     
Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui
tahapan perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasannya. 
(2)     
Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah
milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain. 
(3)     
Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian
tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. 
(4)     
Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah
rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Kota dalam bentuk IMB,
kecuali bangunan gedung fungsi khusus. 
Paragraf 2 
Perencana Bangunan Gedung 
Pasal 82 
(1)     
Perencanaan bangunan rumah tinggal satu lantai dengan
luas kurang dari 50 M2 (limapuluh meter persegi) dapat dilakukan oleh
orang yang ahli/berpengalaman. 
(2)     
Perencanaan bangunan sampai dengan dua lantai dapat
dilakukan oleh orang yang ahli yang telah mendapatkan surat izin bekerja dari
Walikota. 
(3)     
Perencanaan bangunan lebih dari dua lantai atau bangunan
umum, atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh badan hukum yang telah
mendapat kualifikasi sesuai bidang dan nilai bangunan. 
(4)     
Perencana bertanggungjawab bahwa bangunan yang
direncanakan telah memenuhi persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. 
(5)      Perencanaan bangunan
terdiri atas:  
a.    perencanaan
arsitektur;  
b.    perencanaan
konstruksi;  
c.   
perencanaan utilitas, yang disertai dengan Rencana Kerja
dan Syarat-syarat Pekerjaan (RKS). 
(6)     
Ketentuan ayat (1), (2), dan (3) tidak berlaku bagi
perencanaan : 
a.   
bangunan yang sifatnya sementara dengan syarat bahwa luas
dan tingginya tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Dinas; 
b.   
pekerjaan pemeliharaan/perbaikan bangunan, antara lain : 
1)   
memperbaiki bangunan dengan tidak mengubah konstruksi
dan luas lantai bangunan; 
2)   
pekerjaan memplester, memperbaiki retak bangunan dan
memperbaiki lapis lantai bangunan; 
3)   
memperbaiki penutup atap tanpa mengubah konstruksinya; 
4)   
memperbaiki lubang cahaya/udara tidak lebih dari 1 m2
(satu meter persegi); 
5)   
membuat pemisah halaman tanpa konstruksi; 
6)   
memperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan lain. 
Pasal 83 
(1)     
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk
kepentingan umum ditetapkan oleh Pemerintah Kota setelah mendapat pertimbangan
teknis dari tim ahli. 
(2)     
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus
ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat pertimbangan teknis tim ahli. 
(3)     
Keanggotaan tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat ad
hoc terdiri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan kompleksitas
bangunan gedung. 
Pasal
84 
(1)     
Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan sampai dua
lantai dapat dilakukan oleh pelaksana perorangan yang ahli. 
(2)     
Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan dengan luas
lebih dari 500 m2 (limaratus meter persegi) atau bertingkat lebih
dari dua lantai atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh pelaksana badan
hukum atau badan usaha yang memiliki kualifikasi sesuai dengan peraturan yang
berlaku. 
Bagian Ketiga 
Pemanfaatan Bangunan Gedung 
Pasal 85 
(1)     
Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau
pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi
persyaratan laik fungsi. 
(2)     
Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik
fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud dalam
Bab XIII Peraturan Daerah ini. 
(3)     
Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala
pada bangunan gedung harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik
fungsi. 
(4)     
Ketentuan mengenai tata cara pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan secara berkala bangunan gedung mengikuti pedoman teknis dan
standarisasi nasional yang berlaku. 
Bagian
Keempat 
Pelestarian 
Pasal
86 
(1)      Bangunan gedung dan
lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. 
(2)      Penetapan bangunan
gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 
(3)      Pelaksanaan
perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan
lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya. 
(4)      Perbaikan, pemugaran
dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan
menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan
sesuai fungsi dan/atau karakter asal/asli bangunan gedung cagar budaya tersebut. 
(5)      Ketentuan mengenai
perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan mengikuti
ketentuan pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku. 
Bagian
Kelima 
Pembongkaran 
Pasal
87 
(1)     
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:  
a.   
tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki; 
b.   
dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung
dan/atau lingkungannya; 
c.   
tidak memiliki IMB. 
(2)     
Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan b ditetapkan oleh Pemerintah Kota berdasarkan hasil
pengkajian teknis. 
(3)     
Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis dan
pengadaannya menjadi kewajiban pemilik bangunan gedung. 
(4)     
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas
terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana
teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk. 
(5)     
Ketentuan mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung
mengikuti ketentuan pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku. 
BAB XV 
TIM AHLI BANGUNAN GEDUNG 
Pasal
88 
(1)  
Tim Ahli Bangunan Gedung ditetapkan oleh Walikota. 
(2)  
Masa Kerja Tim Ahli Bangunan Gedung adalah 1 (satu) tahun. 
(3)  
Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung bersifat ad hoc,
independent, objektif dan tidak mempunyai konflik kepentingan. 
(4)  
Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung terdiri atas
unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat  ahli, dan instansi yang berkompeten dalam
memberikan pertimbangan teknis dibidang bangunan gedung yang meliputi bidang
arsitektur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/landscape dan
tata ruang/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian
lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung. 
(5)  
Pertimbangan teknis Tim Ahli Bangunan Gedung harus
tertulis dan tidak menghambat proses pelayanan. 
(6)  
Tugas
Tim Ahli Gedung adalah : 
a.    Tugas Rutin Tahunan 
    Memberikan pertimbangan teknis berupa
nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional pada pengesahan rencana teknis
bangunan gedung untuk kepentingan umum, dan bangunan dengan fungsi teknis. 
b.    Tugas Insidentil 
1)    
memberikan
pertimbangan teknis berupa nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional
dalam pengesahan teknis bangunan gedung; 
2)    
memberikan
pertimbangan teknis berupa masukan dan pertimbangan profesional dalam
penyelesaian masalah tentang RTBL, rencana teknis bangunan gedung dan kegiatan
penyelenggaraan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan. 
3)    
Memberikan
pertimbangan teknis berupa pertimbangan profesional terhadap masukan dari
masyarakat dan membantu Pemerintah Kota dalam menampung masukan dari masyarakat
untuk penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis dibidang bangunan gedung. 
(7)      Fungsi Tim Ahli
Bangunan Gedung adalah : 
a.    Tugas Rutin Tahunan 
1)   
Menyusun
Analisis terhadap rencana teknis bangunan gedung berdasarkan
persetujuan/rekomendasi dari instansi/pihak yang berwenang; 
2)   
Pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan tentang
persyaratan tata bangunan; 
3)   
Pengkajian dokumen rencana teknis tentang persyaratan
keandalan bangunan. 
b.    Tugas Insidentil 
Menyusun analisis
untuk menilai pendapat dan pertimbangan masyarakat terhadap rencana teknis
bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. 
(8)      Hal-hal lain yang
belum jelas mengenai Tim Ahli Bangunan Gedung diatur dalam Peraturan  Walikota. 
(9)     
Biaya Operasional Tim Ahli Bangunan Gedung dibebankan
pada APBD Kota Banjarmasin. 
(10)  
Biaya
Operasional Tim Ahli Bangunan Gedung meliputi : 
a.   
biaya operasional sekretariat Tim Ahli Bangunan Gedung
seperti tenaga pengelola, peralatan dan alat tulis kantor; 
b.   
biaya persidangan meliputi penyelenggaraan sidang pleno
dan sidang berkelompok; 
c.   
biaya honorarium dan tunjangan Tim Ahli Bangunan Gedung; 
d.   
biaya Perjalanan Dinas Tim Ahli Bangunan Gedung sesuai
dengan lingkup penugasan. 
BAB XVI 
SERTIFIKAT
LAIK FUNGSI (SLF) 
Pasal 89 
(1)     
Serifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan gedung diberikan
oleh Pemerintah Kota yang menyatakan bahwa bangunan gedung yang telah selesai
dibangun memenuhi persyaratan kelaikan fungsi bangunan gedung baik secara
teknis maupun administratif. 
(2)     
Penerbitan SLF bangunan gedung dan perpanjangan SLF
bangunan gedung diproses atas dasar : 
a.   
permintaan Pemilik/Pengguna Bangunan Gedung; 
b.   
adanya perubahan fungsi, perubahan beban atau perubahan
bentuk bangunan gedung; 
c.   
adanya kerusakan bangunan gedung akibat bencana seperti
gempa bumi, tsunami, kebakaran dan/atau bencana lainnya; 
d.   
adanya laporan masyarakat terhadap bangunan gedung yang
diindikasikan membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 
(3)     
Persyaratan Untuk mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi
(SLF) bangunan gedung : 
a.   
pemohon wajib menyampaikan laporan secara tertulis; 
b.   
pada permohonan tersebut dilengkapi dengan berita acara
pemeriksaan dari pengawas yang telah diakreditasi (bagi bangunan yang
dipersyaratkan); 
c.   
gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawing); 
d.   
fotocopy tanda Pembayaran Retribusi IMB. 
(4)     
Jangka waktu penerbitan SLF dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan selambat-lambatnya 21 (duapuluh satu) hari kerja terhitung sejak
diterimanya laporan dan berita acara pemeriksaan. 
(5)     
Penerbitan SLF tanpa dipungut biaya. 
(6)     
Biaya pemeriksaan SLF yang dilakukan oleh tim ahli
bangunan gedung dibebankan kepada APBD Kota Banjarmasin. 
(7)     
Hal-hal lain mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang
belum jelas dari Peraturan ini diatur dengan Peraturan Walikota. 
Pasal  90 
Apabila terjadi perubahan
penggunaan bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam IMB, pemilik IMB
diwajibkan mengajukan permohonan IMB yang baru kepada Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu dan Penanaman Modal. 
Pasal
91 
(1)      Untuk bangunan yang
telah ada, khususnya bangunan umum wajib dilakukan pemeriksaan secara berkala
terhadap kelaikan fungsinya. 
(2)     
Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh
tenaga/konsultan ahli yang telah diakreditasi setiap 5 (lima) tahun sekali. 
(3)     
Dinas mengadakan penelitian atas hasil pemeriksaan
berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengenai syarat-syarat administrasi
maupun teknis. 
(4)     
Dinas memberikan Sertifikat laik fungsi apabila bangunan
diperiksa telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. 
Bagian Kesatu 
Pengawasan SLF 
Pasal 92 
(1)     
Dalam rangka pengawasan penggunaan bangunan, petugas
Dinas dapat minta kepada pemilik bangunan untuk memperlihatkan SLF beserta
lampirannya. 
(2)     
Kepala Dinas dapat menghentikan penggunaan bangunan
apabila penggunaannya tidak sesuai dengan SLF. 
(3)     
Dalam hal terjadi seperti pada ayat (2), maka setelah
diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam waktu
yang ditetapkan penghuni tetap tidak memenuhi ketentuan seperti yang ditetapkan
dalam SLF, Walikota akan mencabut IMB yang telah diterbitkan. 
Bagian Kedua 
Permohonan Merobohkan Bangunan 
Pasal 93 
(1)     
Pemilik bangunan dapat mengajukan permohonan untuk
merobohkan bangunannya. 
(2)     
Sebelum mengajukan permohonan IMB, Pemohon harus terlebih
dahulu minta petunjuk tentang rencana merobohkan bangunan kepada Dinas yang
meliputi: 
a.   
tujuan atau alasan merobohkan bangunan; 
b.   
persyaratan
merobohkan bangunan; 
c.   
cara
merobohkan bangunan; 
d.   
hal-hal lain yang dianggap perlu. 
(3)     
Walikota dapat memerintahkan kepada pemilik untuk
merobohkan bangunan yang dinyatakan: 
a.    rapuh; 
b.    membahayakan
keselamatan umum; 
c.   
tidak sesuai dengan tata ruang kota dan ketentuan lain
yang berlaku; 
Pasal
94 
(1)     
Perencanaan merobohkan bangunan dibuat oleh Perencana
Bangunan. 
(2)     
Ketentuan ayat (1) ini tidak berlaku bagi:  
a.    bangunan sederhana;  
b.    bangunan tidak
bertingkat. 
(3)      Perencanaan
merobohkan bangunan meliputi:  
a.      
sistem
merobohkan bangunan; 
b.      
pengendalian
pelaksanaan merobohkan bangunan. 
Pasal
95 
(1)      Permohonan
Merobohkan Bangunan (PMB) harus diajukan sendiri secara tertulis kepada
Walikota oleh perorangan atau badan/lembaga dengan mengisi formulir yang
disediakan oleh Dinas. 
(2)      Formulir isian
tersebut dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota. 
Pasal
96 
(1)      Dinas mengadakan
penelitian atas PMB yang diajukan terhadap syarat-syarat administrasi, teknik
dan lingkungan menurut peraturan yang berlaku pada saat PMB diajukan. 
(2)      Dinas memberikan
tanda terima PMB apabila persyaratan administrasi telah terpenuhi. 
(3)      Dinas memberikan
rekomendasi aman atas rencana merobohkan bangunan apabila perencanaan
merobohkan bangunan yang diajukan telah memenuhi persyaratan keamanan teknis
dan keselamatan lingkungan. 
                                                    Pasal
97 
(1)     
Pekerjaan merobohkan bangunan baru dapat dimulai
sekurang-kurangnya 5 (lima) hari kerja setelah rekomendasi diterima. 
(2)     
Pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan berdasarkan
cara dan rencana yang disahkan dalam rekomendasi. 
Pasal 98 
(1)     
Selama pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan,
pemilik harus menempatkan salinan rekomendasi merobohkan bangunan beserta
lampirannya di lokasi pekerjaan untuk kepentingan pemeriksaan petugas. 
(2)      Petugas berwenang : 
a.   
Memasuki dan memeriksa tempat pelaksanaan pekerjaan
merobohkan bangunan. 
b.   
Memeriksa apakah perlengkapan dan peralatan yang
digunakan untuk merobohkan bangunan atau bagian-bagian bangunan yang dirobohkan
sesuai dengan persyaratan yang disahkan dalam rekomendasi. 
c.   
Melarang perlengkapan, peralatan, dan cara yang digunakan
untuk merobohkan bangunan yang berbahaya bagi pekerja, masyarakat sekitar dan
lingkungan, serta memerintahkan mentaati cara-cara yang telah disahkan dalam
rekomendasi. 
BAB
XVII 
PENYERAHAN
PRASARANA LINGKUNGAN, UTILITAS UMUM 
DAN
FASILITAS SOSIAL PERUMAHAN 
Bagian
Kesatu 
Jenis
– Jenis Prasarana Yang Diserahkan 
Pasal
99 
(1)     
Prasarana Lingkungan merupakan kelengkapan lingkungan
yang meliputi antara lain : 
a.   
jalan; 
b.  
saluran
Pembuangan Air Limbah; 
c.   
saluran
Pembuangan Air Hujan. 
(2)     
Utilitas
Umum merupakan prasarana bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan
lingkungan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan terdiri dari
antara lain : 
a.   
jaringan
Air Bersih; 
b.  
jaringan
Listrik; 
c.   
jaringan
Gas; 
d.  
jaringan
Telepon; 
e.   
terminal
Angkutan Umum / Bus Shelter; 
f.    
kebersihan
/ Pembuangan Sampah; 
g.   
pemadam
Kebakaran. 
(3)     
Fasilitas Sosial merupakan fasilitas yang dibutuhkan
masyarakat dalam lingkungan pemukiman yang meliputi antara lain : 
a.   
pendidikan; 
b.  
kesehatan; 
c.   
perbelanjaan
dan niaga; 
d.  
pemerintahan
dan pelayanan
umum;  
e.   
peribadatan; 
f.    
rekreasi
dan kebudayaan; 
g.   
olahraga
dan lapangan
terbuka; 
h.  
pemakaman
umum. 
Bagian
Kedua 
Tata
Cara Penyerahan 
Paragraf
1 
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial 
Pasal
100 
(1)     
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
yang akan diserahkan kepada Pemerintah Kota wajib dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku. 
(2)     
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
yang diserahkan telah memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. 
(3)     
Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan
Fasilitas Sosial dapat dilaksanakan secara bertahap dengan ketentuan sebagai
berikut : 
a.   
untuk Prasarana Lingkungan, tanah dan bangunan telah
selesai dibangun dan dipelihara; 
b.  
untuk Utilitas Umum, tanah dan bangunan telah selesai
dibangun dan dipelihara; 
c.   
untuk Fasilitas Sosial, tanah telah siap untuk dibangun. 
Pasal 101 
Bagi perorangan atau Badan hukum yang mengajukan
permohonan peruntukan lahan lebih besar dan atau sama dengan 1 Ha (satu
hectare), perbandingan penggunaan lahan adalah 70 : 30,
Maksimum 40 % (empatpuluh persen) dari luas lahan sebagai prasarana lingkungan,
utilitas umum dan fasilitas sosial dan diserahkan kepada Pemerintah Kota tanpa
ganti rugi.   
Pasal 102 
Pemeliharaan oleh Perumnas/Perusahaan Pembangunan
Perumahan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak selesainya pembangunan
perumahan tersebut dengan ketentuan 
sebagai berikut : 
a.   
minimal 50% (limapuluh persen) dari tahapan pembangunan
rumah yang direncanakan telah dibangun; 
b.   
luas minimal tahapan pembangunan adalah 5 Ha (lima
hectare); 
c.   
untuk luas areal lebih kecil dari 5 Ha (lima hectare)
penyerahan dilaksanakan sekaligus. 
Pasal
103 
(1)     
Realisasi
penyerahan prasarana perumahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya dalam
waktu 3 (tiga) bulan setelah hasil laporan Tim Verifikasi diterima dengan baik
oleh Walikota. 
(2)     
Seluruh
prasarana sebagaimana dimaksud ayat (1) telah diserahkan kepada Pemerintah Kota
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 
Hak, wewenang dan tanggung jawab pengurusannya beralih sepenuhnya kepada
Pemerintah Kota. 
(3)     
Terhitung
sejak dilaksanakan penyerahan prasarana perumahan tersebut, maka beralihlah
hubungan atas tanah/bangunan dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan, kecuali
tanah bangunan di atas pengelolaan Perum Perumnas yang diserahkan dengan status
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. 
(4)     
Jika
Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan menggunakan prasarana yang
telah diserahkan kepada Pemerintah Kota untuk keperluan melanjutkan pembangunan
perumahan, maka Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan diwajibkan
memperbaiki dan memelihara prasarana perumahan dimaksud. 
(5)     
Apabila
Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan telah selesai 100% (seratus
persen) melaksanakan pembangunan maka wajib diserahkan prasarana perumahan
tersebut kepada Pemerintah Kota dengan jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun
terhitung sejak Berita Acara ke II yang berisi Penyerahan Hasil Pekerjaan
Pembangunan Perumahan dari Kontraktor dan atau terhitung sejak berakhirnya masa
pemeliharaan bangunan kepada Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan
setelah melampaui masa pemeliharaan fisik selama 3 (tiga) bulan atau sesuai
perjanjian. 
BAB
XVIII 
SANKSI
ADMINISTRASI 
Pasal
104 
(1)   
Pemilik
atau pengguna bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 17 huruf b dan c
dapat dikenai sanksi administrasi berupa : 
a.   
peringatan
tertulis; 
b.  
pembatasan
kegiatan pembangunan; 
c.   
perintah penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan; 
d.  
perintah penghentian sementara atau tetap pada
pemanfaatan bangunan gedung; 
e.   
pembekuan izin mendirikan bangunan gedung; 
f.    
pencabutan
izin mendirikan bangunan gedung; 
g.   
pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; 
h.  
pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau 
i.    
perintah
pembongkaran bangunan gedung. 
(2)   
Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh
per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. 
(3)   
Tata cara pemberian sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota. 
BAB XIX 
KETENTUAN PIDANA 
Pasal 105 
Setiap orang dan/atau badan
yang melanggar ketentuan Pasal 17 huruf a diancam pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). 
Pasal 106 
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 105 adalah pelanggaran. 
BAB XX 
KETENTUAN PERALIHAN 
Pasal 107 
(1)   
Pemilik bangunan yang pada saat berlakunya Peraturan
Daerah ini telah mendirikan/merubah/memperbaiki bangunan tanpa izin, harus
mengajukan permohonan izin berdasarkan Peraturan Daerah ini. 
(2)   
Bangunan yang pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah
ini sedang dalam proses pendiriannya dan/atau sedang diproses permohonan
izinnya harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. 
BAB XXI 
KETENTUAN PENUTUP 
Pasal 108 
Hal-hal yang belum diatur
dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis      pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Walikota. 
Pasal 109 
Pada saat Peraturan Daerah
ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 08 Tahun 2009
tentang Retribusi dan Izin Mendirikan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. 
Pasal 110 
Peraturan Daerah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannnya dalam Lembaran Daerah Kota Banjarmasin. 
                                                                   Ditetapkan
di Banjarmasin 
                                                                    pada
tanggal 1 Mei 2012 
WALIKOTA
BANJARMASIN 
                                                                                      ttd 
                                                                             H.
MUHIDIN 
Diundangkan  di Banjarmasin 
pada tanggal 3 Mei 2012               
SEKRETARIS
DAERAH KOTA BANJARMASIN 
                     ttd 
          H. ZULFADLI GAZALI 
LEMBARAN
DAEARH KOTA BANJARMASIN TAHUN  2012 NOMOR 15 
PENJELASAN 
ATAS 
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN 
NOMOR  15  TAHUN 2012 
TENTANG 
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN 
I. UMUM 
Izin Mendirikan Bangunan mempunyai peran
sangat penting dalam mengendalikan pembangunan dan pemanfaatan bangunan di
wilayah Kota Banjarmasin, dengan tujuan terjaminnya keselamatan penghuni dan
lingkungan serta tertib pembangunan. Tertib pembangunan yang dimaksud adalah
desain, pelaksanaan pembangunan dan bangunan sesuai dengan rencana tata ruang
yang berlaku, sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB) yang ditetapkan. 
Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk
mengganti Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Retribusi dan Izin Mendirikan Bangunan. Penggantian dimaksud dalam upaya
menyesuaikan dengan perkembangan keadaan dewasa ini, baik dilihat dari aspek
formal maupun material.  
II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1 
Pasal ini menjelaskan arti beberapa istilah
yang digunakan dalam Peraturan Daerah ini dengan maksud untuk menyamakan
pengertian tentang istilah-istilah itu, sehingga dengan demikian dapat
dihindari kesalahpahaman dalam menafsirkannya. 
Pasal 2 
Cukup Jelas 
Pasal 3 
Cukup Jelas 
Pasal 4 
Cukup Jelas 
Pasal 5 
Cukup Jelas 
Pasal 6 
Cukup Jelas 
Pasal 7 
Cukup Jelas 
Pasal 8 
Cukup Jelas 
Pasal 9 
Cukup Jelas 
Pasal 10 
Cukup Jelas 
Pasal 11 
Cukup Jelas 
Pasal 12 
Cukup Jelas 
Pasal 13 
Cukup Jelas 
Pasal 14 
Cukup Jelas 
Pasal 15 
Cukup Jelas 
Pasal 16 
Cukup Jelas 
Pasal 17 
Pasal 18 
Cukup Jelas 
Pasal 19 
Cukup Jelas 
Pasal 20 
Cukup Jelas 
Pasal 21 
Cukup Jelas 
Pasal 22 
Cukup Jelas 
Pasal 23 
Cukup Jelas 
Pasal 24 
Cukup Jelas 
Pasal 25 
Pasal 26 
Cukup Jelas 
Pasal 27 
Cukup Jelas 
Pasal 28 
Cukup Jelas 
Pasal 29 
Bangunan Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Daerah yang bukan menjadi obyek retribusi adalah bangunan untuk
kantor lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, kecuali bangunan milik Pemerintah,
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah untuk pelayanan jasa umum dan jasa
usaha. Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah
untuk pelayanan jasa umum meliputi : bangunan pelayanan kesehatan, bangunan
pasar, bangunan pelayanan pendidikan dan bangunan pelayanan umum lainnya,
kecuali prasarana bangunan jalan, jembatan dan pengairan. Bangunan milik
Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah untuk pelayanan jasa
usaha meliputi : bangunan terminal, bangunan perbankan, bangunan tempat
penginapan, bangunan tempat olahraga, dan bangunan Pemerintah atau Pemerintah
Daerah yang digunakan untuk kegiatan usaha. 
Pasal 30 
Cukup Jelas 
Pasal 31 
Cukup Jelas 
Pasal 32 
Cukup Jelas 
Pasal 33 
Cukup Jelas 
Pasal 34 
Cukup Jelas 
Pasal 35 
Cukup Jelas 
Pasal 36 
Cukup Jelas 
Pasal 37 
Cukup Jelas 
Pasal 38 
Cukup Jelas 
Pasal 39 
Cukup Jelas 
Pasal 40 
Cukup Jelas 
Pasal 41 
Cukup Jelas 
Pasal 42 
Cukup Jelas 
Pasal 43 
Cukup Jelas 
Pasal 44 
Cukup Jelas 
Pasal 45 
Cukup Jelas 
Pasal 46 
Cukup Jelas 
Pasal 47 
Cukup Jelas 
Pasal 48 
Cukup Jelas 
Pasal 49 
Cukup Jelas 
Pasal 50 
Cukup Jelas 
Pasal 51 
Cukup Jelas 
Pasal 52 
Cukup Jelas 
Pasal 53 
Cukup Jelas 
Pasal 54 
Ayat (1) 
Garis Sempadan
Bangunan adalah garis yang ditarik dari as jalan ke arah bangunan hingga
dinding terluar bangunan. 
Untuk teras
bangunan yang menggunakan atap dak / beton dengan penyangga atap berupa tiang /
kolom beton, dan bagian atasnya digunakan untuk sarana lainnya maka garis
sempadan bangunan terletak pada dinding tiang / kolom beton tersebut. 
Pasal 55 
Cukup Jelas 
Pasal 56 
Cukup Jelas 
Pasal 57 
Cukup Jelas 
Pasal 58 
Cukup Jelas 
Pasal 59 
Cukup Jelas 
Pasal 60 
Cukup Jelas 
Pasal 61 
Cukup Jelas 
Pasal 62 
Cukup Jelas 
Pasal 63 
Cukup Jelas 
Pasal 64 
Cukup Jelas 
Pasal 65 
Cukup Jelas 
Pasal 66 
Cukup Jelas 
Pasal 67 
Cukup Jelas 
Pasal 68 
Cukup Jelas 
Pasal 69 
Cukup Jelas 
Pasal 70 
Cukup Jelas 
Pasal 71 
Cukup Jelas 
Pasal 72 
Cukup Jelas 
Pasal 73 
Cukup Jelas 
Pasal 74 
Cukup Jelas 
Pasal 75 
Cukup Jelas 
Pasal 76 
Cukup Jelas 
Pasal 77 
Cukup Jelas 
Pasal 78 
Cukup Jelas 
Pasal 79 
Cukup Jelas 
Pasal 80 
Cukup Jelas 
Pasal 81 
Cukup Jelas 
Pasal 82 
Cukup Jelas 
Pasal 83 
Cukup Jelas 
Pasal 84 
Cukup Jelas 
Pasal 85 
Cukup Jelas 
Pasal 86 
Cukup Jelas 
Pasal 87 
Cukup Jelas 
Pasal 88 
Cukup Jelas 
Pasal 89 
Cukup Jelas 
Pasal 90 
Cukup Jelas 
Pasal 91 
Cukup Jelas 
Pasal 92 
Cukup Jelas 
Pasal 93 
Cukup Jelas 
Pasal 94 
Cukup Jelas 
Pasal 95 
Cukup Jelas 
Pasal 96 
Cukup Jelas 
Pasal 97 
Cukup Jelas 
Pasal 98 
Cukup Jelas 
Pasal 99 
Cukup Jelas 
Pasal 100 
Cukup Jelas 
Pasal 101 
Cukup Jelas 
Pasal 102 
Cukup Jelas 
Pasal 103 
Cukup Jelas 
Pasal 104 
Cukup Jelas 
Pasal 105 
Cukup Jelas 
Pasal 106 
Cukup Jelas 
Pasal 107 
Cukup Jelas 
Pasal 108 
Cukup Jelas 
Pasal 109 
Cukup Jelas 
Pasal 110 
Cukup Jelas 
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA
BANJARMASIN NOMOR 28 | 
Labels:
Peraturan
 
