W A L I K O T A B A N J A R M A
S I N
PERATURAN DAERAH
KOTA BANJARMASIN
NOMOR 15
TAHUN 2012
TENTANG
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA
BANJARMASIN,
Dengan Persetujuan Bersama :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BANJARMASIN
dan
WALIKOTA
BANJARMASIN
MEMUTUSKAN
:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini
yang dimaksud dengan :
1.
Daerah
adalah Kota Banjarmasin;
2.
Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banjarmasin;
3.
Walikota
adalah Walikota Banjarmasin;
4.
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banjarmasin;
5.
Dinas adalah Dinas Tata Ruang, Cipta Karya dan Perumahan
Kota Banjarmasin;
6.
Badan adalah Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan
Penanaman Modal Kota Banjarmasin;
7.
Badan Hukum adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap;
8.
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang berfungsi untuk tempat penyimpanan, perlindungan, pelaksanaan kegiatan
yang mendukung terjadinya aliran yang menyatu dengan tempat kedudukan yang
sebagian atau seluruhnya berada di atas, dan/atau di dalam tanah dan/atau air;
9.
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal,
kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan
khusus;
10.
Bangunan Bukan Gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil
pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada diatas dan/atau didalam tanah dan/atau air, yang tidak
digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal;
11.
Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari
fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administrasi
dan persyaratan teknisnya;
12.
Bangunan Gedung Umum adalah bangunan gedung yang
fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha,
maupun fungsi sosial dan budaya;
13.
Bangunan Gedung Tertentu adalah bangunan gedung yang
digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan gedung fungsi khusus, yang dalam
pembangunan dan / atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan / atau
memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap
masyarakat dan lingkungannya;
14.
Bangunan Permanen adalah Bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan lebih dari 15 (lima belas) tahun;
15.
Bangunan Semi Permanen adalah Bangunan yang ditinjau dari
segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun;
16.
Bangunan sementara/ darurat adalah bangunan yang ditinjau
dari segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun;
17.
Keterangan Rencana Kota adalah informasi tentang
persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kota
pada lokasi tertentu;
18.
Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB
adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kota kecuali untuk bangunan
gedung dan bangunan bukan gedung, fungsi khusus oleh Pemerintah kepada Pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku;
19.
Koefisien Dasar Bangunan selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung
dan luas tanah perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan;
20.
Koefisien Lantai Bangunan selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan
luas tanah perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan;
21.
Koefisien Daerah Hijau selanjutnya disingkat KDH adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan / penghijauan dan luas tanah
perpetakan / daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan
rencana tata bangunan dan lingkungan;
22.
Koefisien Tapak Bangunan yang selanjutnya disingkat KTB
adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak basement dan luas
lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata
ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan;
23.
Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat
RTRW Kota adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah Kota yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
24.
Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR
adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam rencana
pemanfaatan kawasan;
25.
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang selanjutnya
disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan, rencana
umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana,
dan pedoman pengendalian pelaksanaan;
26.
Laik Fungsi adalah adalah suatu kondisi bangunan gedung
yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi
bangunan gedung yang ditetapkan;
27.
Mendirikan Bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun, atau meratakan
tanah yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut;
28.
Merubah bangunan adalah pekerjaan mengganti dan atau
menambah bangunan yang ada, termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan
dengan pekerjaan mengganti bagian bangunan tersebut;
29.
Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan
seluruh atausebagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau
prasarana dan sarananya;
30.
Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai
standar tata cara,standarspesifikasi dan standar metode uji baik berupa standar
Nasional Indonesia maupun Standar Internasional yang diberlakukan dalam penyelenggaraan
bangunan gedung;
31.
Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan
gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi;
32.
Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti
bagian bangunan gedung, komponen bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana
agar bangunan gedung tetap laik fungsi;
33.
Pemugaran bangunan gedung yang di lestarikan adalah
kegiatan memperbaiki/ memulihkan kembali bangunan gedung ke bentuk aslinya;
34.
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Kota berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan;
35.
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah
Kota dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan;
36.
Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan
tanah, dimana bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak dari
bangunan;
37.
Jembatan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut JBG
adalah jembatan yang digunakan untuk menyeberangi sungai menuju bangunan gedung
atau halaman bangunan gedung, dan menjadi bagian dari bangunan gedung;
38.
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya
disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan;
39.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung
adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan
keinginan masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan,
menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan gugatan perwakilan
berkaitan dengan penyelenggaraan bangunan gedung;
40.
Indeks Terintegrasi atau Terpadu adalah bilangan hasil
korelasi matematis dari indeks parameter-parameter fungsi, klasifikasi, dan
waktu penggunaan bangunan gedung, sebagai faktor pengali terhadap harga satuan
retribusi untuk menghitung besaran retribusi;
41.
Tim Ahli Bangunan Gedung adalah tim yang terdiri dari
para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan bangunan gedung untuk memberikan
pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa
penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian
masalah penyelenggaraan bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya
ditunjuk secara kasus per kasus diseusaikan dengan kompleksitas bangunan gedung
tertentu tersebut;
42.
Instansi Teknis Pembina Penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah adalah dinas atau
bidang yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung di
Kota Banjarmasin;
43.
Laik Fungsi Bangunan Gedung adalah suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang
ditetapkan;
44.
Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disebut SLF
adalah sertifikat yang diberikan Oleh Pemerintah Kota pada suatu Kondisi
bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan;
45.
Rekomendasi adalah
saran tertulis dari ahli berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian,
sebagai dasar pertimbangan penetapan pemberian Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
bangunan gedung oleh Pemerintah Kota;
46.
Sampah adalah sisa dari kegiatan sehari-hari manusia
dan/atau proses yang berbentuk padat;
47.
Sampah Organik atau Sampah Basah atau Sampah Hayati
adalah sampah yang mudah membusuk seperti sampah sisa dapur, daun-daunan,
sayur-sayuran dan sebagainya;
48.
Pengomposan adalah
proses pengolahan sampah organik dengan bantuan mikro organisme sehingga
terbentuk kompos;
49.
Air Limbah Non Kakus
adalah air limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas mandi, cuci dan masak;
50.
Air Limbah Rumah Tangga adalah semua jenis air buangan rumah tangga yang berasal dari
mandi, dapur, cuci dan kakus;
51.
Fasilitas Pengelolaan Limbah Kakus adalah sarana atau prasarana untuk mengelola air limbah kakus,
misalnya berupa tangki septic, jaringan perpipaan, air limbah kakus;
52.
Bangunan Rumah Toko yang selanjutnya dapat disebut Ruko,
adalah termasuk bangunan dengan fungsi usaha;
53.
Pembekuan
adalah pemberhentian sementara
atas IMB akibat penyimpangan dalam pelaksanaan
pembangunan gedung;
54.
Pencabutan
adalah tindakan akhir
yang dilakukan setelah pembekuan IMB;
55.
Pemutihan atau dengan sebutan nama lainnya adalah
pemberian IMB terhadap bangunan
yang sudah terbangun
di kawasan yang belum memiliki RDTRK, RTBL, dan/atau
RTRK;
56.
Pembongkaran
adalah kegiatan membongkar
atau merobohkan seluruh atau
sebagian bangunan, komponen,
bahan bangunan, dan/atau prasarana
dan sarananya.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan
Daerah ini meliputi ketentuan penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan dan
Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
BAB III
PRINSIP DAN MANFAAT PEMBERIAN IMB
Pasal 3
Pemberian IMB diselenggarakan
berdasarkan prinsip:
a.
prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif;
b.
pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu;
c.
keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha;
dan
d.
aspek rencana tata
ruang, kepastian status
hukum pertanahan, keamanan dan
keselamatan, serta kenyamanan.
Pasal 4
(1)
Walikota memanfaatkan pemberian IMB untuk:
a.
pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
b.
mewujudkan
tertib penyelenggaraan bangunan
yang menjamin keandalan bangunan
dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan;
c.
mewujudkan
bangunan yang fungsional
sesuai dengan tata bangunan dan serasi dengan
lingkungannya; dan
d.
syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.
(2)
Pemilik IMB mendapat manfaat untuk:
a.
pengajuan sertifikat laik
jaminan fungsi bangunan; dan
b.
memperoleh
pelayanan utilitas umum
seperti pemasangan/penambahan
jaringan listrik, air
minum, hydrant, telepon, dan gas.
BAB IV
PENYELENGGARAAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1)
Setiap pembangunan baru, rehabilitasi/renovasi, pelestarian/
pemugaran suatu bangunan wajib mendapatkan IMB terlebih dahulu dari walikota;
(2)
Walikota
dalam menyelenggarakan pemberian
IMB berdasarkan pada:
a.
peraturan daerah tentang izin mendirikan bangunan; dan
b.
RDTRK, Peraturan Zonasi dan RTBL.
Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 6
(1)
Walikota dalam penyelenggaraan IMB dikelola oleh Badan.
(2)
Walikota
dapat melimpahkan sebagian
kewenangan penerbitan IMB sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) kepada Camat.
(3)
Pelimpahan
sebagian kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
mempertimbangkan:
a.
efisiensi dan efektivitas;
b.
mendekatkan
pelayanan pemberian IMB
kepada masyarakat; dan
c.
fungsi
bangunan, klasifikasi bangunan,
batasan luas tanah, an/atau luas
bangunan yang mampu
diselenggarakan kecamatan.
(4)
Camat
melaporkan pelaksanaan sebagian
kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) kepada Walikota dengan tembusan
kepada Badan dan Dinas.
Bagian Ketiga
Tata Cara Mengajukan Permohonan IMB
Pasal 7
(1)
Pemohon mengajukan permohonan IMB kepada Walikota.
(2)
Permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
Bangunan gedung; atau
b.
Bangunan bukan gedung.
(3) IMB bangunan
gedung atau bangunan
bukan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berupa pembangunan baru, merehabilitasi/renovasi, atau
pelestarian/pemugaran.
(4)
Tata cara permohonan IMB diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 8
(1) Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2) huruf a berfungsi sebagai:
a. hunian;
b. keagamaan;
c. usaha;
d. sosial dan budaya; dan
e. ganda/campuran.
(2) Fungsi hunian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas bangunan
gedung hunian rumah
tinggal sederhana dan rumah tinggal tidak sederhana.
(3) Fungsi keagamaan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf
b terdiri atas mesjid/mushola, gereja,
vihara, klenteng, pura,
dan bangunan pelengkap keagamaan.
(4) Fungsi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas perkantoran
komersial, pasar modern,
ruko, rukan, mal/supermarket,
hotel, restoran, dan lain-lain sejenisnya.
(5) Fungsi sosial
dan budaya sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) huruf d terdiri
atas bangunan olahraga,
bangunan pemakaman, bangunan kesenian/kebudayaan, bangunan
pasar tradisional, bangunan terminal/halte bus,
bangunan pendidikan, bangunan kesehatan, kantor
pemerintahan, bangunan panti
jompo, panti asuhan, dan
lain-lain sejenisnya.
(6) Fungsi
ganda/campuran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf
e terdiri atas
hotel, apartemen, mal/shopping
center, sport hall, dan/atau
hiburan.
Pasal 9
(1)
Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 diklasifikasikan berdasarkan:
a. Tingkat Kompleksitas;
b. Tingkat Permanensi;
c. Tingkat Risiko
Kebakaran;
d. Tingkat Zonasi Gempa;
e. Tingkat Lokasi;
f. Tingkat Ketinggian;
g. Tingkat Kepemilikan.
(2)
Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana
ayat (1) huruf a meliputi:
a. Bangunan Gedung
Sedehana;
b. Bangunan Gedung
Tidak Sederhana;
c. Bangunan Gedung
Khusus.
(3)
Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana ayat
(1) huruf b meliputi:
a. Bangunan Gedung Permanen;
b. Bangunan Gedung Semi Permanen;
c. Bangunan Gedung Non Permanen;
d. Bangunan gedung darurat atau
sementara.
(4)
Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran
sebagaimana ayat (1) huruf a meliputi:
a. Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Tinggi;
b. Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Sedang;
c. Bangunan
Gedung Tingkat Risiko Kebakaran Rendah.
(5)
Klasifikasi berdasarkan tingkat zonasi gempa sebagaimana
Pasal 8 huruf d meliputi :
a. Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona I/Minor;
b. Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona II/Minor;
c. Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona III/Sedang;
d. Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona IV/Sedang;
e. Bangunan
Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona V/Kuat;
f.
Bangunan Gedung Tingkat Zonasi Gempa Zona VI/Kuat.
(6)
Klasifikasi berdasarkan tingkat lokasi sebagaimana Pasal
8 huruf e meliputi:
a. Bangunan Gedung di Lokasi Padat;
b. Bangunan Gedung di Lokasi
Sedang;
c. Bangunan Gedung di Lokasi
Renggang.
(7)
Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana Pasal 8
huruf f meliputi:
a.
Bangunan Gedung bertingkat tinggi dengan jumlah lantai
lebih dari 4 (empat) lantai;
b.
Bangunan Gedung bertingkat sedang dengan jumlah lantai 3
(tiga) sampai dengan 4 (empat) lantai;
c.
Bangunan Gedung bertingkat rendah dengan jumlah lantai 1
(satu) sampai dengan 2 (dua) lantai.
(8)
Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana Pasal 8
huruf g meliputi:
a.
Bangunan
Gedung Milik Negara / Daerah;
b.
Bangunan Gedung Milik Yayasan dikatagorikan sama dengan
milik negara dalam pengaturan berdasarkan kepemilikannya;
c.
Bangunan
Gedung Milik Badan Usaha;
d.
Bangunan
Gedung Milik Perorangan;
e.
Bangunan Gedung Konsul Negara Asing dan Bangunan Gedung
Diplomatik lainnya dikatagorikan sebagai Bangunan Milik Perorangan.
Pasal 10
(1)
Bangunan bukan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
ayat (3) huruf b meliputi:
a. konstruksi
pembatas/penahan/pengaman:
1) pagar;
2) tanggul;
3) turap/siring/pelengkap.
b. konstruksi penanda
masuk:
1) gapura;
2) gerbang.
c. konstruksi
perkerasan:
1) jalan;
2) lapangan parkir;
3) lapangan upacara;
4) lapangan olahraga
terbuka;
5) lapangan penumpukan
/ depo container.
d. konstruksi
penghubung:
1) jembatan;
2) box culvert;
3) gorong-gorong;
4) jembatan laying;
5) jembatan
penyeberangan;
6) titian.
e. konstruksi
kolam/reservoir bawah tanah:
1) kolam renang;
2) kolam pengolahan air;
3) reservoir air bawah
tanah.
f.
konstruksi
menara:
1) menara antena;
2) menara reservoir;
3) cerobong.
g. konstruksi monumen
1) tugu;
2) patung.
h. konstruksi instalasi
1) instalasi listrik,
tiang listrik;
2) instalasi telepon,
tiang telepon;
3) instalasi pengolahan;
4) instalasi saluran
pembuangan.
i.
konstruksi
reklame/papan nama
1) bando;
2) billboard;
3) baliho;
4) megatron;
5) papan nama.
Pasal 11
(1)
Pemohon
mengajukan permohonan IMB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 melengkapi persyaratan dokumen:
a.
administrasi; dan
b.
rencana teknis.
(2)
Persyaratan
dokumen administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a.
tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau
perjanjian pemanfaatan tanah;
b.
data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi);
c.
data pemilik bangunan;
d.
surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa;
e.
surat
pemberitahuan pajak terhutang
bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan;
f.
dokumen
analisis mengenai dampak
dan gangguan terhadap lingkungan, atau
upaya pemantauan lingkungan
(UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban;dan
g.
Persyaratan lain yang dianggap perlu.
(3)
Persyaratan dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi:
a.
gambar rencana/arsitektur bangunan;
b.
gambar sistem struktur;
c.
gambar sistem utilitas;
d.
perhitungan
struktur dan/atau bentang
struktur bangunan disertai hasil
penyelidikan tanah bagi
bangunan 2 (dua)
lantai atau lebih;
e.
perhitungan
utilitas bagi bangunan
gedung bukan hunian rumah tinggal; dan
f.
data penyedia jasa perencanaan.
(4)
Dokumen
rencana teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) disesuaikan dengan klasifikasi bangunan.
Pasal 12
(1)
Instansi yang membidangi perizinan memberikan tanda
terima Permohonan IMB apabila memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
(2)
Tim Teknis mengadakan pemeriksaan lapangan terhadap
Permohonan IMB yang diajukan menurut peraturan yang berlaku.
(3)
Setelah permohonan diterima sebagaimana tersebut dalam
ayat (1) Tim Teknis membuat Berita Acara Pemeriksaan Lapangan sesuai peraturan
yang berlaku.
(4)
Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Lapangan itu Tim
Teknis / Instansi Teknis membuat Rekomendasi yang berisi penerimaan Permohonan
IMB disertai dengan besarnya retribusi yang wajib dibayar oleh pemohon
berdasarkan ketentuan yang berlaku, atau penolakan Permohonan IMB disertai
alasan penolakan sesuai ketentuan yang berlaku.
(5)
Pemohon membayar retribusi berdasarkan penetapan pada
ayat (4) untuk Permohonan IMB yang diterima.
(6)
Setelah pemohon melunasi retribusi yang telah ditetapkan
sebagaimana tersebut dalam ayat (5), Instansi yang membidangi perizinan
menandatangani dan menerbitkan IMB.
Bagian Keempat
Jangka Waktu Proses IMB
Pasal 13
Jangka waktu proses IMB
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Walikota.
Bagian Kelima
Izin Mendirikan Bangunan
Pasal 14
(1)
IMB ditandatangani oleh Walikota atau pejabat lain yang
ditunjuk.
(2)
IMB berlaku selama bangunan yang dimintakan izin tidak
mengalami perubahan bentuk dan fungsinya.
(3)
IMB pada bangunan yang berdiri diatas tanah sewa berlaku
sampai masa sewa berakhir, kecuali ada bukti perpanjangan masa sewa.
(4)
Pemutakhiran data atas permohonan pemilik bangunan gedung
dan/atau perubahan non teknis lainnya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(5)
Walikota atau pejabat yang ditunjuk dapat membekukan dan
mencabut IMB apabila :
a.
1 (satu) tahun setelah berlakunya IMB, pemegang IMB belum
melaksanakan pekerjaannya;
b.
Selama 3 (tiga) bulan berturut-turut pekerjaan berhenti
dan tidak dilanjutkan;
c.
Pendirian bangunan tidak sesuai dengan izin atau
ketentuan yang berlaku;
d.
Izin yang telah diberikan didasarkan pada
keterangan-keterangan yang keliru;
e.
Pembangunan menyimpang dari rencana dan syarat-syarat
yang disahkan.
(6)
Pencabutan IMB diberikan melalui Keputusan Walikota
dengan mencantumkan alasannya.
(7)
Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan
setelah terlebih dulu ada pemberitahuan dan peringatan secara tertulis kepada
Pemegang izin.
(8)
Pemegang izin dapat mengajukan keberatan terhadap
pembatalan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dan
peringatan secara tertulis.
(9)
jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung
sejak peringatan ketiga atas pelanggaran, pemilik bangunan gedung tidak
melakukan perbaikan maka IMB dibekukan.
(10)
jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender terhitung
sejak dikenakan sanksi atas pelanggaran, pemilik bangunan gedung tidak
melakukan perbaikan dan/atau penyelesaian atas sanksi yang dikenakan IMB
dicabut.
Pasal 15
(1)
Permohonan IMB ditolak apabila :
a.
Bangunan yang akan didirikan dinilai tidak memenuhi
persyaratan administrasi maupun teknis bangunan gedung;
b.
Bangunan yang akan didirikan diatas lokasi/tanah yang
penggunaannya tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarmasin;
c.
Bangunan mengganggu atau merusak lingkungan sekitarnya;
d.
Bangunan akan mengganggu lalu lintas, aliran air (air
hujan), cahaya atau bangunan yang telah ada;
e.
Fungsi bangunan tidak sesuai dengan fungsi kawasan;
f.
Lokasi dimana bangunan akan didirikan tidak memenuhi
syarat kesehatan;
g.
Adanya keberatan dari masyarakat yang dibenarkan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Kota.
(2)
Penolakan permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan secara tertulis oleh Instansi yang membidangi perizinan dengan
menyebutkan alasan penolakannya.
Pasal 16
IMB tidak diperlukan dalam
hal :
a.
Merawat/memperbaiki bangunan dengan tidak merubah denah,
konstruksi maupun arsitektur bangunan semula yang telah diizinkan;
b.
Mendirikan bangunan yang tidak permanen untuk memelihara
binatang jinak atau taman dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Ditempatkan di halaman belakang;
2)
Luas tidak melebihi 10 (sepuluh) meter persegi dan
tingginya tidak lebih dari 2 (dua) meter;
c.
Mendirikan bangunan yang sifatnya sementara yang
dipergunakan untuk pameran, perayaan atau pertunjukan paling lama 1 (satu) bulan;
d.
Memperbaiki pondasi untuk mesin-mesin dalam gedung;
e.
Membuat kolam hias, taman dan patung-patung, tiang
bendera di halaman pekarangan rumah.
Pasal 17
Setiap orang atau badan
dilarang mendirikan bangunan apabila :
a.
Tidak memiliki IMB;
b.
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan/atau
syarat-syarat dalam IMB;
c.
Menyimpang dari rencana pembangunan yang ditetapkan dalam
IMB;
d.
Mendirikan bangunan diatas tanah orang lain tanpa izin
pemiliknya atau kuasanya yang sah.
BAB V
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan
Pasal 18
(1)
Pendirian bangunan harus dilaksanakan sesuai dengan
rencana dan ketentuan yang ditetapkan dalam dokumen IMB.
(2)
Pendirian bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah terbitnya IMB.
(3)
Terhadap pembangunan di lokasi tertentu, Pemegang IMB
diwajibkan menutup lokasi tempat mendirikan bangunan dengan pagar pengaman yang
rapat.
(4)
Apabila dalam mendirikan bangunan terdapat kegiatan yang
akan berdampak pada timbulnya kerusakan terhadap fasilitas umum dan sarana
pendukungnya, Pemegang izin harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang
bertanggungjawab terhadap fasilitas umum tersebut.
(5)
Pemegang IMB bertanggung jawab terhadap kerusakan pada
bangunan yang berdekatan sebagai akibat dari kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan.
(6)
Bangunan gedung maupun sarana dan prasarana yang berada
pada persimpangan jalan tidak boleh mengganggu pengguna jalan.
Pasal 19
(1)
Selama kegiatan mendirikan bangunan berlangsung, dilarang
menempatkan bahan bangunan serta melakukan pekerjaan lainnya di atas jalan, bahu
jalan maupun di atas trotoar.
(2)
Selama kegiatan mendirikan bangunan dilakukan, Pemegang
IMB wajib menyiapkan Salinan IMB beserta gambar IMB di lokasi pekerjaan untuk
kepentingan pemeriksaan.
(3)
Instansi yang membidangi Bangunan berwenang untuk :
a.
memasuki dan memeriksa tempat pelaksanaan pekerjaan
mendirikan bangunan setiap saat pada jam kerja;
b.
memeriksa apakah pelaksanaan pembangunan sudah dilakukan
sesuai dengan syarat teknis yang tercantum dalam IMB;
c.
memerintahkan pemindahan/pembuangan bahan bangunan yang
tidak memenuhi syarat, dan alat-alat yang dianggap berbahaya serta merugikan
keselamatan/kesehatan umum.
Pasal 20
Pemegang IMB wajib mengajukan
permohonan baru apabila akan melaksanakan penambahan dan/atau perubahan
bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam IMB.
Pasal 21
(1)
Pemilik
bangunan yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi peringatan tertulis.
(2)
Walikota
memberikan peringatan tertulis
sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan
selang waktu masing-masing 7
(tujuh) hari kalender.
Pasal 22
(1)
Pemilik
bangunan yang tidak
mengindahkan sampai dengan peringatan tertulis
ketiga dan tetap
tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran,
dikenakan sanksi pembatasan
kegiatan pembangunan.
(2)
Pengenaan
sanksi pembatasan kegiatan
pembangunan dilaksanakan
paling lama 14 (empat
belas) hari kalender terhitung sejak peringatan tertulis
ketiga diterima.
Pasal 23
(1)
Pemilik
bangunan yang dikenakan
sanksi pembatasan kegiatan pembangunan wajib melakukan
perbaikan atas pelanggaran.
(2)
Pemilik
bangunan yang tidak
mengindahkan sanksi pembatasan kegiatan pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
22 dikenakan sanksi berupa
penghentian sementara pembangunan dan pembekuan IMB.
(3)
Pemilik
bangunan yang telah
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib
melakukan perbaikan atas
pelanggaran dalam waktu
14 (empat belas)
hari kalender terhitung sejak
tanggal pengenaan sanksi.
Pasal 24
Pemilik bangunan
yang tidak mengindahkan
sanksi penghentian sementara
pembangunan dan pembekuan IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (2)
dikenakan sanksi berupa
penghentian tetap
pembangunan, pencabutan IMB,
dan surat perintah
pembongkaran bangunan.
BAB VI
PENERTIBAN IMB
Pasal 25
(1) Bangunan yang
sudah terbangun sebelum
adanya RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK dan tidak memiliki
IMB yang bangunannya sesuai dengan lokasi,
peruntukkan, dan penggunaan
yang ditetapkan dalam RDTRK,
RTBL, dan/atau RTRK dilakukan pemutihan.
(2)
Pemutihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
hanya 1 (satu) kali.
(3)
Dalam hal pemilik
bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak
melakukan pemutihan dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan
tertulis untuk mengurus
IMB dan perintah pembongkaran bangunan gedung.
(4)
Peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam selang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.
(5)
Pemilik
bangunan yang tidak
mengindahkan peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dikenakan
sanksi perintah pembongkaran
bangunan gedung.
Pasal 26
Bangunan yang
sudah terbangun sebelum
adanya RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK dan tidak memiliki
IMB yang bangunannya tidak sesuai
dengan lokasi, peruntukkan,
dan/atau penggunaan yang
ditetapkan dalam RDTRK, RTBL,
dan/atau RTRK dikenakan
sanksi administratif berupa
perintah pembongkaran bangunan gedung.
Pasal 27
(1)
Bangunan yang sudah
terbangun sesudah adanya
RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK
dan tidak memiliki IMB yang bangunannya sesuai dengan lokasi,
peruntukkan, dan penggunaan
yang ditetapkan dalam RDTRK,
RTBL, dan/atau RTRK
dilakukan sanksi administratif
dan/atau denda.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa peringatan tertulis untuk mengurus
IMB dan perintah pembongkaran bangunan gedung.
(3)
Selain sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dikenakan sanksi
denda paling banyak
10 % (sepuluh
per seratus) dari nilai bangunan.
(4)
Peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam selang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.
(5)
Pemilik
bangunan yang tidak
mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (4)
dikenakan sanksi perintah pembongkaran bangunan gedung.
BAB VII
PEMBONGKARAN
Pasal 28
(1)
Walikota
menetapkan bangunan untuk
dibongkar dengan surat penetapan
pembongkaran sebagai tindak
lanjut dari dikeluarkannya surat
perintah pembongkaran.
(2)
Surat
penetapan pembongkaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
memuat batas waktu
pembongkaran, prosedur
pembongkaran, dan ancaman
sanksi terhadap setiap pelanggaran.
(3)
Pembongkaran
bangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban pemilik bangunan.
(4)
Dalam hal pembongkaran
tidak dilaksanakan oleh
pemilik bangunan terhitung 30
(tiga puluh) hari
kalender sejak tanggal penerbitan perintah
pembongkaran, pemerintah daerah
dapat melakukan pembongkaran atas bangunan.
(5)
Biaya
pembongkaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dibebankan kepada
pemilik bangunan ditambah
denda administratif yang besarnya
paling banyak 10
% (sepuluh per seratus) dari nilai total bangunan.
(6)
Biaya
pembongkaran dan denda
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditanggung oleh
pemerintah daerah bagi
pemilik bangunan hunian rumah tinggal yang tidak mampu.
(7)
Pembongkaran bangunan gedung harus dilaksanakan secara
tertib dan mempetimbangkan keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya.
(8)
Pembongkaran bangunan gedung sebagaimana harus sesuai
dengan ketetapan perintah pembongkaran atau persetujuan pembongkaran oleh
Pemerintah Kota.
(9)
Pembongkaran bangunan gedung meliputi kegiatan penetapan
pembongkaran, pelaksanaan pembongkaran dan pengawasan pembongkaran bangunan
gedung, yang dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah pembongkaran secara umum
serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(10)
Tata cara / ketentuan penetapan pembongkaran, pelaksanaan
pembongkaran dan pengawasan pembongkaran bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
BAB VIII
RETRIBUSI
Pasal 29
(1)
Retribusi
pelayanan pemberian IMB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (5)
merupakan retribusi golongan
perizinan tertentu.
(2)
Retribusi IMB sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dikenakan pada setiap
bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
(3)
Pemberian IMB untuk
bangunan milik Pemerintah
atau pemerintah daerah tidak dikenakan retribusi.
(4) Retribusi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah.
Pasal 30
(1)
Walikota
dapat memberikan pengurangan
dan/atau keringanan penarikan retribusi IMB berdasarkan kriteria:
a.
bangunan fungsi sosial dan budaya; dan
b.
bangunan
fungsi hunian bagi
masyarakat berpenghasilan rendah.
(2)
Walikota
dapat memberikan pembebasan
retribusi IMB berdasarkan
kriteria:
a.
bangunan fungsi keagamaan; dan
b. bangunan bukan gedung sebagai
sarana dan prasarana umum yang tidak komersial.
Pasal 31
(1) Komponen
biaya perhitungan retribusi IMB meliputi kegiatan:
a.
peninjauan desain/gambar; dan
b.
pemantauan pelaksanaan pembangunan.
(2) Penyelenggaraan retribusi
atas IMB berpedoman
pada peraturan
perundang-undangan.
BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 32
(1)
Pengawasan dan pengendalian
terhadap penyelenggaraan bangunan
dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan
dan/atau pengawasan.
(2)
Kegiatan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi
pemeriksaan fungsi bangunan,
persyaratan teknis bangunan, dan
keandalan bangunan.
(3)
Kegiatan
pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi peninjauan lokasi, pengecekan
informasi atas pengaduan masyarakat, dan pengenaan sanksi.
BAB X
SOSIALISASI
Pasal 33
(1)
Pemerintah daerah melaksanakan sosialisasi kepada
masyarakat dalam pemberian IMB antara lain terkait dengan:
a.
keterangan rencana kota;
b.
persyaratan yang perlu dipenuhi pemohon;
c.
tata cara proses
penerbitan IMB sejak
permohonan diterima sampai dengan
penerbitan IMB; dan
d.
teknis perhitungan dalam penetapan retribusi IMB.
(2)
Keterangan
rencana kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf a antara
lain berisi persyaratan
teknis meliputi:
a.
fungsi
bangunan gedung yang
dapat dibangun pada
lokasi bersangkutan;
b.
ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c.
jumlah lantai/lapis
bangunan gedung di
bawah permukaan tanah dan koefisien
tapak basement (KTB)
yang diizinkan, apabila membangun
di bawah permukaan tanah;
d.
garis
sempadan dan jarak bebas
minimum bangunan gedung yang diizinkan;
e.
koefisien dasar bangunan (KDB) maksimum yang diizinkan;
f.
koefisien lantai bangunan (KLB) maksimum yang diizinkan;
g.
koefisien daerah hijau (KDH) minimum yang diwajibkan;
h.
ketinggian
bangunan maksimum yang diizinkan;
i.
jaringan utilitas kota; dan
j.
keterangan lainnya yang terkait.
BAB XI
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 34
Walikota melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian IMB di kota.
Pasal 35
Walikota melakukan
pembinaan pemberian IMB di
kota.
Pasal 36
Pembinaan Walikota
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 berupa pengembangan,
pemantauan, dan evaluasi
pemberian IMB.
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 37
(1)
Walikota
melaporkan pemberian IMB
kepada Gubernur dengan tembusan
kepada Menteri.
(2)
Laporan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
BAB XIII
PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Persyaratan Administrasi
Pasal 38
(1)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, meliputi:
a.
Status hak atas
tanah, dan/atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak
atas tanah;
b.
Status kepemilikan bangunan gedung; dan
c.
IMB
gedung.
(2) Setiap orang atau
badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung.
(3) Pemerintah
Kota melakukan pendataan bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan
pemanfaatan.
Pasal 39
(1) Status hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a adalah penguasaan
atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat maupun SKKT atau bentuk lain
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai tanda bukti
penguasaan/kepemilikan tanah.
(2) Izin pemanfaatan
dari pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf
a di atas merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis
antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan.
Pasal 40
(1)
Status
kepemilikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf
b merupakan surat keterangan bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Kota berdasarkan hasil pendataan bangunan gedung.
(2)
Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak
lain.
(3)
Dalam hal kepemilikan bangunan gedung bukan pemilik
tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) huruf b harus
mendapat persetujuan dari pemilik tanah.
Pasal 41
IMB dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf c adalah surat bukti dari Pemerintah Kota bahwa pemilik bangunan
gedung dapat mendirikan bangunan sesuai dengan rencana teknis bangunan gedung
yang telah disetujui oleh Pemerintah Kota.
Bagian Kedua
Persyaratan Tata Bangunan
Paragraf 1
Peruntukan dan Intensitas Bangunan
Pasal 42
(1)
Pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung harus sesuai
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam:
a.
RTRW
Kota Banjarmasin;
b.
Rencana Detail Tata Ruang Kota Banjarmasin;
c.
RTBL untuk lokasi yang bersangkutan;
d.
Peraturan Zonasi.
(2)
Untuk pembangunan di atas jalan umum, saluran, atau
sarana lain, atau yang melintasi sarana dan prasarana jaringan kota, atau di
bawah/di atas air, atau pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi,
harus mendapat persetujuan khusus dari Walikota.
Paragraf 2
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
Pasal 43
Persyaratan tata bangunan
untuk suatu kawasan lebih lanjut akan disusun dan ditetapkan dalam Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Pasal 44
(1)
Setiap bangunan gedung yang dibangun dan dimanfaatkan
harus memenuhi kepadatan bangunan yang diatur dalam KDB sesuai yang ditetapkan
untuk lokasi yang bersangkutan.
(2)
KDB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya
kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan
dan kenyamanan bangunan.
(3)
Ketentuan besarnya KDB pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau yang diatur dalam RTBL untuk lokasi yang sudah memilikinya, atau
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
(4)
Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain,
ditentukan KDB maksimum 60% (enam puluh persen).
Pasal 45
(1)
KLB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran,
kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan, keselamatan dan
kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan umum.
(2)
Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
Pasal 46
(1)
KDH ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan
air permukaan tanah.
(2)
Ketentuan besarnya KDH pada ayat (1) disesuaikan dengan
RTRW Kota atau sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
(3)
Setiap bangunan umum apabila tidak ditentukan lain,
ditentukan KDH minimum 30% (tiga puluh persen).
Pasal 47
(1) Ketinggian bangunan
ditentukan sesuai dengan RTRW Kota.
(2) Untuk masing-masing
lokasi yang belum dibuat tata ruangnya, ketinggian maksimum bangunan ditetapkan
oleh Dinas dengan mempertimbangkan lebar jalan, fungsi bangunan, keselamatan
bangunan, serta keserasian dengan lingkungannya.
(3) Ketinggian bangunan
deret maksimum 4 (empat) lantai.
Paragraf 3
Arsitektur Bangunan Gedung
Pasal 48
(1)
Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi
persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang, serta keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta
pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap
penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa.
(2)
Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur
dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
(3)
Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan
gedung, dan keandalan bangunan gedung.
(4)
Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau
yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.
Pasal 49
(1)
Setiap bangunan tidak diperbolehkan menghalangi pandangan
lalu lintas.
(2)
Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak
diperbolehkan mengganggu atau menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan umum,
keseimbangan/pelestarian lingkungan dan kesehatan lingkungan.
(3)
Setiap bangunan langsung atau tidak langsung tidak
diperbolehkan dibangun/berada diatas sungai/saluran/selokan/parit drainase kota.
(4)
Khusus untuk daerah-daerah tertentu, yang mempunyai
sungai dengan lebar lebih dari 50M (limapuluh meter), pembangunan bangunan di
atas sungai dimungkinkan dengan struktur bangunan khusus dan harus mendapat
persetujuan dari Walikota setelah mendengar pendapat para ahli dengan tetap
mempertimbangkan tidak mengganggu fungsi sungai dan merusak lingkungan.
Paragraf 4
Konstruksi Bangunan Panggung
Pasal 50
Setiap bangunan gedung yang
dibangun wajib menggunakan konstruksi pondasi dengan sistem panggung kecuali
bangunan tertentu yang secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
dengan sistem panggung;
Paragraf
5
Garis
Sempadan
Pasal 51
(1) Garis sempadan
pondasi bangunan terluar yang sejajar dengan as jalan (rencana jalan)
ditentukan berdasarkan lebar jalan/rencana jalan, fungsi jalan dan peruntukan
kavling/ kawasan.
(2) Letak garis sempadan
pondasi bangunan terluar tersebut ayat (1), apabila tidak ditentukan lain
adalah separuh lebar ruang milik jalan (rumija) dihitung dari as jalan.
(3)
Untuk lebar jalan yang kurang dari 5M (lima meter), letak
garis sempadan adalah minimal 1,5M (satu koma lima meter) dihitung dari tepi
jalan.
(4)
Letak garis sempadan pondasi bangunan terluar pada bagian
samping kiri, samping kanan, dan belakang yang berbatasan dengan tetangga
bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 1,0M (satu koma nol meter) dari
batas kavling, atau atas dasar kesepakatan dengan tetangga yang saling
berbatasan.
(5)
Garis terluar suatu tritis/oversteck yang menghadap kearah tetangga, tidak dibenarkan melewati
batas pekarangan yang berbatasan dengan tetangga.
(6)
Apabila garis sempadan bangunan ditetapkan berimpit
dengan garis sempadan pagar, cucuran atap suatu tritis/oversteck harus diberi talang dan pipa talang harus disalurkan
sampai ke tanah.
(7)
Dilarang menempatkan lubang angin/ventilasi/jendela pada
dinding yang berbatasan langsung dengan tetangga.
(8)
Garis sempadan untuk bangunan yang dibangun di bawah
permukaan tanah maksimum berimpit dengan garis sempadan pagar, dan tidak
diperbolehkan melewati batas pekarangan.
Pasal 52
(1)
Garis sempadan untuk bangunan gedung yang dibangun di
tepi sungai, mengacu kepada ketentuan garis sempadan sungai.
(2)
Besarnya garis sempadan sungai sebagaimana pada ayat (1)
ditetapkan oleh Walikota.
Pasal 53
(1) Jarak antara
masa/blok bangunan satu lantai yang satu dengan lainnya dalam satu kavling atau
antara kavling minimum adalah 4M (empat meter).
(2) Setiap bangunan umum
harus mempunyai jarak masa/blok bangunan dengan bangunan di sekitarnya sekurang-kurangnya
6M (enam meter) dan 3M (tiga meter)
dengan batas kavling.
(3) Untuk bangunan
bertingkat, setiap kenaikan satu lantai jarak antara masa/blok bangunan yang
satu dengan lainnya ditambah dengan 0,5M (nol koma lima meter).
(4) Ketentuan lebih
rinci tentang jarak antar bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam standar
teknis yang berlaku.
(5) Tiap bangunan gedung
wajib menyediakan lahan parkir, ketentuan tentang angka kebutuhan parkir
tertera dibawah ini :
Pasal 54
(1)
Garis
sempadan bangunan diukur dari muka bangunan sampai dengan as jalan dimuka
bangunan tersebut.
(2)
Garis
sempadan samping bangunan adalah garis yang ditarik dari sisi batas
kavling/sisi jalan sampai dengan samping bangunan yang berbatasan langsung
dengan jalan tersebut.
(3)
Garis
sempadan belakang bangunan adalah garis sempadan yang ditarik dari sisi jalan
atau batas kavling dengan belakang bangunan yang berbatasan langsung dengan
jalan tersebut.
(4)
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan arteri adalah 8,00M (delapan koma nol meter).
(5)
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan kolektor adalah 6,00M (enam koma nol meter).
(6)
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan lingkungan adalah 4,00M (empat koma nol meter).
(7)
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria jalan lokal adalah 1,00M (satu koma nol meter).
(8)
Garis
sempadan samping bangunan dan garis sempadan belakang bangunan untuk jalan
dengan kreteria gang adalah 0,80M (nol koma delapanpuluh meter).
Paragraf
6
Bangunan
Gedung Ruko
Pasal
55
(1)
Bangunan Ruko yang disampingnya berbatasan langsung
dengan gang (jalan yang lebar kurang dari 4M) harus memberikan jarak minimal
0,80M (nol koma delapan puluh meter).
(2)
Bangunan Ruko tidak boleh dialih fungsikan terkecuali ada
rekemondasi dari Tim Ahli Bangunan Gedung.
(3)
Tambahan tingkatan untuk bangunan Ruko harus ada
persetujuan tetangga kiri, kanan dan belakang.
(4)
Bangunan Ruko wajib memakai pondasi dengan sistem
panggung/tidak diurug, sehingga dapat berfungsi sebagai resapan air.
(5)
Peil Bangunan Ruko maksimal 1,20M (satu koma dua puluh
meter) dari permukaan tanah asal.
(6)
Setiap bangunan Ruko yang berbatasan dengan jalan wajib
membuat drainase (sistem saluran) samping kiri dan kanan serta belakang
bangunan tersebut.
(7)
Apabila di depan Ruko tidak ada drainasenya, maka pemilik
Ruko wajib membuat drainase atau saluran pada Ruko tersebut.
(8)
Jalan masuk Ruko harus dibuat transparan/tidak massif
sehingga air larian tidak turun ke jalan.
Paragraf 7
Bangunan Gedung Sarang Burung Walet
Pasal 56
(1)
Bangunan gedung sarang burung walet adalah bangunan yang
difungsikan sebagian atau seluruhnya untuk budidaya sarang burung walet.
(2)
Bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib memiliki
IMB sesuai dengan peruntukannya.
(3)
IMB untuk bangunan sarang burung walet terlebih dahulu
harus mendapat Rekomendasi Tim Teknis Sarang Burung Walet.
(4)
Bangunan Gedung sarang burung walet dapat diizinkan
apabila sudah mendapat rekomendasi Tim Teknis Izin Usaha Sarang Burung Walet,
izin Prinsip dan izin Gangguan (HO) dari Pemerintah Kota.
(5)
Bangunan sarang burung walet yang sudah ada sebelum
Peraturan Daerah ini ditetapkan dapat diberikan izin usaha perpanjangan sesuai
dengan kebijakan Pemerintah Kota Banjarmasin dan mendapat rekomendasi tim
teknis izin usaha sarang burung walet
Paragraf
8
Jembatan
Bangunan Gedung (JBG)
Pasal
57
(1)
Setiap bangunan gedung apabila jalan menuju bangunan atau
halaman bangunan harus melintasi sungai dapat membangun jembatan.
(2)
Peil, lebar dan jumlah serta jarak jembatan dalam satu
kavling ditentukan oleh Dinas teknis yang menangani sungai.
Paragraf 9
Pagar
Pasal 58
(1)
Prasarana
bangunan gedung yang berfungsi sebagai pembatas yang terbentuk pagar maka
tinggi pagar yang berbatasan dengan jalan maksimal 2,5M (dua koma lima meter)
diatas permukaan tanah dan bangunan bukan rumah tunggal maksimal 2,75M (dua
koma tujuhpuluh lima meter).
(2)
Pagar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tembus pandang dengan bagian bawahnya
dapat tidak tembus pandang (masif) maksimal setinggi 1M (satu meter) diatas
permukaan tanah.
(3)
Penggunaan
kawat berduri sebagai pemisah/pembatas disepanjang jalan umum tidak
diperbolehkan.
(4)
Tinggi pagar pembatas samping dan belakang maksimal 3M
(tiga meter).
(5)
Pagar yang dibuat ditikungan jalan harus tembus pandang
sehingga dapat dilihat pada dua sisi yang berlawanan.
Paragraf 10
Pembuangan Air (
Drainase )
Pasal 59
(1)
Pembangunan
gedung dan prasarana gedung apabila bagian depan/belakang dan samping persil
yang bersangkutan berbatasan dengan jalan dan belum terdapat jaringan saluran
kota/drainase kota, maka diwajibkan kepada pemilik bangunan untuk membangun
saluran/drainase pada perbatasan bagian depan/belakang dan samping persil
tersebut.
(2)
Untuk
saluran air hujan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a.
setiap
pekarangan wajib dilengkapi dengan sistem saluran pembuangan air hujan;
b.
saluran-saluran
pembuangan air hujan harus mempunyai kapasitas daya tampung yang cukup besar
dan direncanakan berdasarkan frekwensi curah hujan 2 (dua) tahunan dan daya
resap tanah;
c.
saluran
pembuangan air hujan terbuat dari pasangan batu kali/beton berbentuk saluran
terbuka dan tertutup;
d.
kemiringan saluran harus dapat mengalirkan saluran air
hujan dengan baik agar bebas dari genangan air;
e.
air hujan yang jatuh diatas atap harus segera dapat
disalurkan ke bawah bangunan panggung yang berfungsi sebagai resapan air.
(3)
Untuk saluran air limbah rumah tangga harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
bahan saluran harus sesuai dengan penggunaannya dan sifat
bahan yang hendak disalurkan;
b.
selanjutnya harus dipenuhi ketentuan tentang bahan
bangunan;
c.
tempat pembuangan tidak boleh langsung menghadap jalan;
d.
harus dibuatkan bak penampungan air limbah;
e.
bak penampung harus kedap air sehingga tidak merembes
keluar.
(4)
Pembangunan gedung dan prasarananya tidak boleh menutup
sungai dan drainase.
(5)
Pembangunan jembatan tidak boleh lebih rendah dari bahu
jalan atau peil air tertinggi.
(6)
Pembangunan perumahan wajib membuatkan saluran drainase
beserta gorong-gorong minimal diameter 80 cm (delapanpuluh centimeter) dalam
dan tidak boleh mematikan aliran sungai serta drainase.
(7)
Bekas perancah dan bekisting pembangunan jembatan harus
dibersihkan.
(8)
Setiap bangunan ataupun pengurukan tanah secara langsung
atau tidak langsung tidak diperbolehkan dibangun/berada di atas
sungai/saluran/selokan/parit pengairan, baik mengganggu ataupun tidak mengganggu
kelancaran fungsi drainase.
Bagian Ketiga
Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan
Pasal 60
(1)
Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan
hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
(2)
Setiap pemohon yang akan mengajukan permohonan IMB,
dimana setiap jenis usaha atau kegiatan bangunan tersebut menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan maka wajib dilengkapi dengan AMDAL.
(3)
Pemenuhan persyaratan wajib AMDAL mengikuti ketentuan
dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Instansi/Departemen teknis yang membidangi
bangunan gedung.
Bagian Keempat
Persyaratan Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 61
Setiap rencana pembangunan
pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan
jalan wajib dilakukan analisa dampak lalu lintas.
Pasal 62
Ketentuan mengenai analisa
dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pasal 61 akan diatur lebih lanjut oleh
Peraturan Walikota.
Bagian Kelima
Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung
Paragraf 1
Persyaratan Keselamatan
Pasal 63
(1)
Setiap bangunan harus dibangun dengan mempertimbangkan
kekuatan, kekakuan, dan kestabilan dari segi struktur.
(2)
Peraturan/standar teknik yang harus dipakai ialah
peraturan/standar teknik yang berlaku di Indonesia yang meliputi SNI tentang
Tata Cara, Spesifikasi, dan Metode Uji yang berkaitan dengan bangunan gedung.
(3)
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya harus
diperhitungkan terhadap beban sendiri, beban yang dipikul, beban angin, dan
getaran dan gaya gempa sesuai dengan peraturan pembebanan yang berlaku.
(4)
Setiap bangunan dan bagian konstruksinya yang dinyatakan
mempunyai tingkat gaya angin atau gempa yang cukup besar harus direncanakan
dengan konstruksi yang sesuai dengan pedoman dan standar teknis yang berlaku.
(5)
Setiap bangunan bertingkat lebih dari dua lantai, dalam
pengajuan perizinan mendirikan bangunannya harus menyertakan perhitungan
strukturnya sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal 64
Dinas Tata Ruang, Cipta Karya
dan Perumahan mempunyai kewenangan
untuk memeriksa konstruksi
bangunan yang dibangun/akan dibangun
baik dalam rancangan bangunannya
maupun pada masa pelaksanaan pembangunannya, terutama untuk ketahanan terhadap
bahaya gempa.
Pasal 65
(1) Setiap bangunan
gedung untuk kepentingan umum, seperti bangunan peribadatan, bangunan
perkantoran, bangunan pasar/pertokoan/mal, bangunan perhotelan, bangunan
kesehatan, bangunan pendidikan, bangunan gedung pertemuan, bangunan pelayanan
umum, dan bangunan industri, serta bangunan hunian susun harus mempunyai sistem
pengamanan terhadap bahaya kebakaran, baik sistem proteksi pasif maupun sistem
proteksi aktif.
(2) Pemenuhan
persyaratan ketahanan terhadap bahaya kebakaran mengikuti ketentuan dalam
pedoman dan standar teknis yang berlaku serta sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI)/SKBI tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
pada bangunan rumah dan gedung.
Pasal 66
(1) Penggunaan bahan
bangunan diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan produksi
dalam negeri/setempat, dengan kandungan lokal minimal 60% (enampuluh persen).
(2) Penggunaan bahan
bangunan harus mempertimbangkan keawetan dan kesehatan dalam pemanfaatan
bangunannya.
(3) Bahan bangunan yang
dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat teknik sesuai dengan fungsinya,
seperti yang dipersyaratkan dalam SNI tentang spesifikasi bahan bangunan yang
berlaku.
(4) Penggunaan bahan
bangunan yang mengandung racun atau bahan kimia yang berbahaya, harus mendapat
rekomendasi dari instansi terkait dan dilaksanakan oleh ahlinya.
(5) Pengecualian dari
ketentuan ayat (1) harus mendapat rekomendasi dari Walikota atau pejabat yang
ditunjuk olehnya.
Paragraf 2
Persyaratan Kesehatan
Pasal 67
(1)
Jenis, mutu, sifat bahan, dan peralatan instalasi air
minum harus memenuhi standar dan ketentuan teknis yang berlaku.
(2)
Pemilihan sistem dan penempatan instalasi air minum harus
disesuaikan dan aman terhadap sistem lingkungan, bangunan-bangunan lain,
bagian-bagian lain dari bangunan dan instalasi-instalasi lain sehingga tidak
saling membahayakan, mengganggu, dan merugikan serta memudahkan pengamatan dan
pemeliharaan.
(3)
Pengadaan sumber air minum diambil dari PDAM atau dari
sumber yang dibenarkan secara resmi oleh yang berwenang.
(4)
Perencanaan dan instalasi jaringan air bersih mengikuti
dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal 68
(1) Dalam tiap-tiap
pekarangan harus dibuat saluran pembuangan air hujan yang mengarah ke saluran
umum kota.
(2) Jika hal dimaksud
ayat (1) tidak dimungkinkan, maka pembuangan air hujan harus dilakukan melalui
proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan oleh Dinas Teknis yang
menangani.
(3) Perencanaan dan instalasi jaringan air hujan mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal
69
(1) Semua air kotor yang
asalnya dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui
pipa-pipa tertutup dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Pembuangan air
limbah kakus (berasal dari wc) disalurkan ke fasilitas pengelolaan limbah kakus.
(3) Pembuangan air
limbah non kakus dimaksud pada ayat (1) dapat dialirkan ke saluran umum kota.
(4) Jika hal dimaksud
ayat (3) Pasal ini tidak dimungkinkan, maka pembuangan air kotor non kakus
harus dilakukan melalui proses peresapan ataupun cara-cara lain yang ditentukan
oleh Dinas Teknis yang menangani.
(5) Letak sumur-sumur
peresapan berjarak minimal 10M (sepuluh meter) dari sumber air minum/bersih
terdekat dan atau tidak berada di bagian atas kemiringan tanah terhadap letak
sumber air minum/bersih, sepanjang tidak ada ketentuan lain yang disyaratkan/
diakibatkan oleh suatu kondisi tanah.
(6) Perencanaan dan
instalasi jaringan air kotor mengikuti ketentuan dalam pedoman dan standar
teknis yang berlaku.
Pasal
70
(1) Setiap pembuangan
baru/atau perluasan suatu bangunan yang diperuntukkan sebagai tempat kediaman
diharuskan menyediakan tempat sampah yang ditempatkan dan dibuat sedemikian
rupa sehingga kualitas lingkungan tetap terjaga.
(2) Pengangkutan sampah
dari sumber sampah pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara langsung, dimana
proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan bersamaan yang diangkut
oleh petugas kebersihan.
(3) Setiap bangunan
gedung/rumah tangga yang belum terlayani pengangkutan sampah agar dapat
meminimalisir sampah organik dengan cara pengomposan.
(4) Dalam hal di
lingkungan sekitar terdapat tempat/kotak sampah induk, maka sampah dapat
ditampung pada kotak-kotak sampah induk yang disediakan tersebut.
(5) Perencanaan dan
instalasi tempat pembuangan sampah mengikuti ketentuan dalam pedoman dan
standar teknis yang berlaku.
Pasal
71
(1) Setiap bangunan
gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/ buatan,
sesuai dengan fungsinya.
(2) Kebutuhan ventilasi
diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara dalam ruang
sesuai dengan fungsi ruang.
(3) Ventilasi alami
harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu atau sarana lain yang dapat
dibuka sesuai dengan kebutuhan dan standar teknis yang berlaku.
(4)
Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari
jendela, bukaan, pintu ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang
bersebelahan.
(5)
Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5%
(lima persen) dari luas lantai ruangan yang diventilasi.
(6)
Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi
alami yang tidak dapat memenuhi syarat.
(7)
Penempatan fan sebagai ventilasi buatan harus
memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau
sebaliknya.
(8)
Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut
harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni.
(9)
Penggunaan ventilasi buatan, harus memperhitungkan
besarnya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam
bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Pasal
72
(1) Setiap bangunan
gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan/atau buatan, sesuai dengan
fungsinya.
(2) Kebutuhan
pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk ruangan di dalam bangunan,
daerah luar bangunan, jalan, taman dan daerah bagian luar lainnya, termasuk
daerah di udara terbuka dimana pencahayaan dibutuhkan.
(3) Pemanfaatan
pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal pada bangunan gedung,
disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung
dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.
(4) Besarnya kebutuhan
pencahayaan alami dan/atau buatan dalam bangunan gedung dihitung berdasarkan
pedoman dan standar teknis yang berlaku.
Paragraf 3
Persyaratan Kemudahan/Aksesibilitas
Pasal 73
(1)
Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
kemudahan yang meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan
gedung.
(2)
Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kemudahan hubungan horizontal dan
hubungan vertikal, tersedianya akses evakuasi, serta fasilitas dan
aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut
usia.
(3)
Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan
fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet,
tempat parkir, tempat sampah, fasilitas penyandang cacat, serta fasilitas
komunikasi dan informasi.
Pasal
74
(1) Kemudahan hubungan
horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu
dan/atau koridor antar ruang.
(2) Penyediaan mengenai
jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan
fungsi ruang bangunan gedung.
(3) Ketentuan mengenai
kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis
yang berlaku.
Pasal
75
(1) Kemudahan hubungan
vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana transportasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan
sejenisnya serta lif dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang
bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan
yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan
kesehatan pengguna.
(3) Bangunan gedung
untuk parkir harus menyediakan ram dengan kemiringan tertentu dan/atau sarana
akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna
sesuai standar teknis yang berlaku.
(4) Bangunan gedung
dengan jumlah lantai di atas 4 (empat) harus dilengkapi dengan sarana
transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi
bangunan gedung.
(5) Ketentuan mengenai
kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengikuti ketentuan dalam standar
teknis yang berlaku.
Pasal
76
(1) Akses evakuasi dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) harus disediakan
di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu
keluar darurat, dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau
bencana lainnya, kecuali rumah tinggal.
(2) Penyediaan akses
evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dicapai dengan mudah
dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas.
(3) Ketentuan mengenai
penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengikuti ketentuan dalam standar teknis yang berlaku.
Pasal 77
(1) Penyediaan fasilitas
dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali
rumah tinggal.
(2) Fasilitas bagi
penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk
penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung
dan lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai
penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan dalam standar teknis
yang berlaku.
Pasal
78
(1) Kelengkapan
prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum.
(2) Kelengkapan
prasarana dan sarana tersebut harus memadai sesuai dengan fungsi bangunan umum
tersebut.
(3)
Kelengkapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), meliputi :
a.
sarana pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya
kebakaran;
b.
tempat
parkir;
c.
sarana
transportasi vertikal;
d.
sarana
tata udara;
e.
fasilitas
penyandang cacat;
f.
sarana
penyelamatan.
Bagian Kelima
Persyaratan Kenyamanan dalam Bangunan
Pasal 79
(1)
Setiap bangunan yang dibangun dapat mempertimbangkan
faktor kenyamanan bagi pengguna/penghuni yang berada di dalam dan di sekitar
bangunan.
(2)
Dalam merencanakan kenyamanan dalam bangunan gedung harus
memperhatikan:
a. kenyamanan ruang gerak;
b. kenyamanan hubungan
antar ruang;
c. kenyamanan kondisi
udara;
d. kenyamanan pandangan;
e.
kenyamanan terhadap kebisingan dan getaran.
(3)
Ketentuan perencanaan, pelaksanaan, operasi dan
pemeliharaan kenyamanan dalam bangunan gedung mengikuti ketentuan dalam pedoman
dan standar teknis yang berlaku.
BAB XIV
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 80
(1)
Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan
pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
(2)
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara berkewajiban memenuhi persyaratan
bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Bab XIII Peraturan Daerah ini.
(3)
Penyelenggara bangunan gedung terdiri atas pemilik
bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, dan pengguna bangunan gedung.
(4)
Pemilik bangunan gedung yang belum dapat memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Bab III Peraturan Daerah ini, tetap
harus memenuhi ketentuan tersebut secara bertahap.
Bagian Kedua
Pembangunan
Paragraf 1
Umum
Pasal 81
(1)
Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui
tahapan perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasannya.
(2)
Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah
milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
(3)
Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian
tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
(4)
Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah
rencana teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Kota dalam bentuk IMB,
kecuali bangunan gedung fungsi khusus.
Paragraf 2
Perencana Bangunan Gedung
Pasal 82
(1)
Perencanaan bangunan rumah tinggal satu lantai dengan
luas kurang dari 50 M2 (limapuluh meter persegi) dapat dilakukan oleh
orang yang ahli/berpengalaman.
(2)
Perencanaan bangunan sampai dengan dua lantai dapat
dilakukan oleh orang yang ahli yang telah mendapatkan surat izin bekerja dari
Walikota.
(3)
Perencanaan bangunan lebih dari dua lantai atau bangunan
umum, atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh badan hukum yang telah
mendapat kualifikasi sesuai bidang dan nilai bangunan.
(4)
Perencana bertanggungjawab bahwa bangunan yang
direncanakan telah memenuhi persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Perencanaan bangunan
terdiri atas:
a. perencanaan
arsitektur;
b. perencanaan
konstruksi;
c.
perencanaan utilitas, yang disertai dengan Rencana Kerja
dan Syarat-syarat Pekerjaan (RKS).
(6)
Ketentuan ayat (1), (2), dan (3) tidak berlaku bagi
perencanaan :
a.
bangunan yang sifatnya sementara dengan syarat bahwa luas
dan tingginya tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan Dinas;
b.
pekerjaan pemeliharaan/perbaikan bangunan, antara lain :
1)
memperbaiki bangunan dengan tidak mengubah konstruksi
dan luas lantai bangunan;
2)
pekerjaan memplester, memperbaiki retak bangunan dan
memperbaiki lapis lantai bangunan;
3)
memperbaiki penutup atap tanpa mengubah konstruksinya;
4)
memperbaiki lubang cahaya/udara tidak lebih dari 1 m2
(satu meter persegi);
5)
membuat pemisah halaman tanpa konstruksi;
6)
memperbaiki langit-langit tanpa mengubah jaringan lain.
Pasal 83
(1)
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung untuk
kepentingan umum ditetapkan oleh Pemerintah Kota setelah mendapat pertimbangan
teknis dari tim ahli.
(2)
Pengesahan rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus
ditetapkan oleh pemerintah setelah mendapat pertimbangan teknis tim ahli.
(3)
Keanggotaan tim ahli bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat ad
hoc terdiri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan kompleksitas
bangunan gedung.
Pasal
84
(1)
Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan sampai dua
lantai dapat dilakukan oleh pelaksana perorangan yang ahli.
(2)
Pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan dengan luas
lebih dari 500 m2 (limaratus meter persegi) atau bertingkat lebih
dari dua lantai atau bangunan spesifik harus dilakukan oleh pelaksana badan
hukum atau badan usaha yang memiliki kualifikasi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Bangunan Gedung
Pasal 85
(1)
Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau
pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi
persyaratan laik fungsi.
(2)
Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik
fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud dalam
Bab XIII Peraturan Daerah ini.
(3)
Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala
pada bangunan gedung harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik
fungsi.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan secara berkala bangunan gedung mengikuti pedoman teknis dan
standarisasi nasional yang berlaku.
Bagian
Keempat
Pelestarian
Pasal
86
(1) Bangunan gedung dan
lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
(2) Penetapan bangunan
gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pelaksanaan
perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan
lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
(4) Perbaikan, pemugaran
dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan
menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan
sesuai fungsi dan/atau karakter asal/asli bangunan gedung cagar budaya tersebut.
(5) Ketentuan mengenai
perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan mengikuti
ketentuan pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku.
Bagian
Kelima
Pembongkaran
Pasal
87
(1)
Bangunan gedung dapat dibongkar apabila:
a.
tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
b.
dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan gedung
dan/atau lingkungannya;
c.
tidak memiliki IMB.
(2)
Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan b ditetapkan oleh Pemerintah Kota berdasarkan hasil
pengkajian teknis.
(3)
Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis dan
pengadaannya menjadi kewajiban pemilik bangunan gedung.
(4)
Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas
terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana
teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung
mengikuti ketentuan pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku.
BAB XV
TIM AHLI BANGUNAN GEDUNG
Pasal
88
(1)
Tim Ahli Bangunan Gedung ditetapkan oleh Walikota.
(2)
Masa Kerja Tim Ahli Bangunan Gedung adalah 1 (satu) tahun.
(3)
Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung bersifat ad hoc,
independent, objektif dan tidak mempunyai konflik kepentingan.
(4)
Keanggotaan Tim Ahli Bangunan Gedung terdiri atas
unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, masyarakat ahli, dan instansi yang berkompeten dalam
memberikan pertimbangan teknis dibidang bangunan gedung yang meliputi bidang
arsitektur dan konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan/landscape dan
tata ruang/interior, serta keselamatan dan kesehatan kerja serta keahlian
lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
(5)
Pertimbangan teknis Tim Ahli Bangunan Gedung harus
tertulis dan tidak menghambat proses pelayanan.
(6)
Tugas
Tim Ahli Gedung adalah :
a. Tugas Rutin Tahunan
Memberikan pertimbangan teknis berupa
nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional pada pengesahan rencana teknis
bangunan gedung untuk kepentingan umum, dan bangunan dengan fungsi teknis.
b. Tugas Insidentil
1)
memberikan
pertimbangan teknis berupa nasihat, pendapat, dan pertimbangan profesional
dalam pengesahan teknis bangunan gedung;
2)
memberikan
pertimbangan teknis berupa masukan dan pertimbangan profesional dalam
penyelesaian masalah tentang RTBL, rencana teknis bangunan gedung dan kegiatan
penyelenggaraan bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
3)
Memberikan
pertimbangan teknis berupa pertimbangan profesional terhadap masukan dari
masyarakat dan membantu Pemerintah Kota dalam menampung masukan dari masyarakat
untuk penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis dibidang bangunan gedung.
(7) Fungsi Tim Ahli
Bangunan Gedung adalah :
a. Tugas Rutin Tahunan
1)
Menyusun
Analisis terhadap rencana teknis bangunan gedung berdasarkan
persetujuan/rekomendasi dari instansi/pihak yang berwenang;
2)
Pengkajian dokumen rencana teknis berdasarkan ketentuan tentang
persyaratan tata bangunan;
3)
Pengkajian dokumen rencana teknis tentang persyaratan
keandalan bangunan.
b. Tugas Insidentil
Menyusun analisis
untuk menilai pendapat dan pertimbangan masyarakat terhadap rencana teknis
bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(8) Hal-hal lain yang
belum jelas mengenai Tim Ahli Bangunan Gedung diatur dalam Peraturan Walikota.
(9)
Biaya Operasional Tim Ahli Bangunan Gedung dibebankan
pada APBD Kota Banjarmasin.
(10)
Biaya
Operasional Tim Ahli Bangunan Gedung meliputi :
a.
biaya operasional sekretariat Tim Ahli Bangunan Gedung
seperti tenaga pengelola, peralatan dan alat tulis kantor;
b.
biaya persidangan meliputi penyelenggaraan sidang pleno
dan sidang berkelompok;
c.
biaya honorarium dan tunjangan Tim Ahli Bangunan Gedung;
d.
biaya Perjalanan Dinas Tim Ahli Bangunan Gedung sesuai
dengan lingkup penugasan.
BAB XVI
SERTIFIKAT
LAIK FUNGSI (SLF)
Pasal 89
(1)
Serifikat Laik Fungsi (SLF) bangunan gedung diberikan
oleh Pemerintah Kota yang menyatakan bahwa bangunan gedung yang telah selesai
dibangun memenuhi persyaratan kelaikan fungsi bangunan gedung baik secara
teknis maupun administratif.
(2)
Penerbitan SLF bangunan gedung dan perpanjangan SLF
bangunan gedung diproses atas dasar :
a.
permintaan Pemilik/Pengguna Bangunan Gedung;
b.
adanya perubahan fungsi, perubahan beban atau perubahan
bentuk bangunan gedung;
c.
adanya kerusakan bangunan gedung akibat bencana seperti
gempa bumi, tsunami, kebakaran dan/atau bencana lainnya;
d.
adanya laporan masyarakat terhadap bangunan gedung yang
diindikasikan membahayakan keselamatan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
(3)
Persyaratan Untuk mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi
(SLF) bangunan gedung :
a.
pemohon wajib menyampaikan laporan secara tertulis;
b.
pada permohonan tersebut dilengkapi dengan berita acara
pemeriksaan dari pengawas yang telah diakreditasi (bagi bangunan yang
dipersyaratkan);
c.
gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawing);
d.
fotocopy tanda Pembayaran Retribusi IMB.
(4)
Jangka waktu penerbitan SLF dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan selambat-lambatnya 21 (duapuluh satu) hari kerja terhitung sejak
diterimanya laporan dan berita acara pemeriksaan.
(5)
Penerbitan SLF tanpa dipungut biaya.
(6)
Biaya pemeriksaan SLF yang dilakukan oleh tim ahli
bangunan gedung dibebankan kepada APBD Kota Banjarmasin.
(7)
Hal-hal lain mengenai Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang
belum jelas dari Peraturan ini diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 90
Apabila terjadi perubahan
penggunaan bangunan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam IMB, pemilik IMB
diwajibkan mengajukan permohonan IMB yang baru kepada Badan Pelayanan Perizinan
Terpadu dan Penanaman Modal.
Pasal
91
(1) Untuk bangunan yang
telah ada, khususnya bangunan umum wajib dilakukan pemeriksaan secara berkala
terhadap kelaikan fungsinya.
(2)
Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh
tenaga/konsultan ahli yang telah diakreditasi setiap 5 (lima) tahun sekali.
(3)
Dinas mengadakan penelitian atas hasil pemeriksaan
berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengenai syarat-syarat administrasi
maupun teknis.
(4)
Dinas memberikan Sertifikat laik fungsi apabila bangunan
diperiksa telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.
Bagian Kesatu
Pengawasan SLF
Pasal 92
(1)
Dalam rangka pengawasan penggunaan bangunan, petugas
Dinas dapat minta kepada pemilik bangunan untuk memperlihatkan SLF beserta
lampirannya.
(2)
Kepala Dinas dapat menghentikan penggunaan bangunan
apabila penggunaannya tidak sesuai dengan SLF.
(3)
Dalam hal terjadi seperti pada ayat (2), maka setelah
diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam waktu
yang ditetapkan penghuni tetap tidak memenuhi ketentuan seperti yang ditetapkan
dalam SLF, Walikota akan mencabut IMB yang telah diterbitkan.
Bagian Kedua
Permohonan Merobohkan Bangunan
Pasal 93
(1)
Pemilik bangunan dapat mengajukan permohonan untuk
merobohkan bangunannya.
(2)
Sebelum mengajukan permohonan IMB, Pemohon harus terlebih
dahulu minta petunjuk tentang rencana merobohkan bangunan kepada Dinas yang
meliputi:
a.
tujuan atau alasan merobohkan bangunan;
b.
persyaratan
merobohkan bangunan;
c.
cara
merobohkan bangunan;
d.
hal-hal lain yang dianggap perlu.
(3)
Walikota dapat memerintahkan kepada pemilik untuk
merobohkan bangunan yang dinyatakan:
a. rapuh;
b. membahayakan
keselamatan umum;
c.
tidak sesuai dengan tata ruang kota dan ketentuan lain
yang berlaku;
Pasal
94
(1)
Perencanaan merobohkan bangunan dibuat oleh Perencana
Bangunan.
(2)
Ketentuan ayat (1) ini tidak berlaku bagi:
a. bangunan sederhana;
b. bangunan tidak
bertingkat.
(3) Perencanaan
merobohkan bangunan meliputi:
a.
sistem
merobohkan bangunan;
b.
pengendalian
pelaksanaan merobohkan bangunan.
Pasal
95
(1) Permohonan
Merobohkan Bangunan (PMB) harus diajukan sendiri secara tertulis kepada
Walikota oleh perorangan atau badan/lembaga dengan mengisi formulir yang
disediakan oleh Dinas.
(2) Formulir isian
tersebut dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
Pasal
96
(1) Dinas mengadakan
penelitian atas PMB yang diajukan terhadap syarat-syarat administrasi, teknik
dan lingkungan menurut peraturan yang berlaku pada saat PMB diajukan.
(2) Dinas memberikan
tanda terima PMB apabila persyaratan administrasi telah terpenuhi.
(3) Dinas memberikan
rekomendasi aman atas rencana merobohkan bangunan apabila perencanaan
merobohkan bangunan yang diajukan telah memenuhi persyaratan keamanan teknis
dan keselamatan lingkungan.
Pasal
97
(1)
Pekerjaan merobohkan bangunan baru dapat dimulai
sekurang-kurangnya 5 (lima) hari kerja setelah rekomendasi diterima.
(2)
Pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan berdasarkan
cara dan rencana yang disahkan dalam rekomendasi.
Pasal 98
(1)
Selama pekerjaan merobohkan bangunan dilaksanakan,
pemilik harus menempatkan salinan rekomendasi merobohkan bangunan beserta
lampirannya di lokasi pekerjaan untuk kepentingan pemeriksaan petugas.
(2) Petugas berwenang :
a.
Memasuki dan memeriksa tempat pelaksanaan pekerjaan
merobohkan bangunan.
b.
Memeriksa apakah perlengkapan dan peralatan yang
digunakan untuk merobohkan bangunan atau bagian-bagian bangunan yang dirobohkan
sesuai dengan persyaratan yang disahkan dalam rekomendasi.
c.
Melarang perlengkapan, peralatan, dan cara yang digunakan
untuk merobohkan bangunan yang berbahaya bagi pekerja, masyarakat sekitar dan
lingkungan, serta memerintahkan mentaati cara-cara yang telah disahkan dalam
rekomendasi.
BAB
XVII
PENYERAHAN
PRASARANA LINGKUNGAN, UTILITAS UMUM
DAN
FASILITAS SOSIAL PERUMAHAN
Bagian
Kesatu
Jenis
– Jenis Prasarana Yang Diserahkan
Pasal
99
(1)
Prasarana Lingkungan merupakan kelengkapan lingkungan
yang meliputi antara lain :
a.
jalan;
b.
saluran
Pembuangan Air Limbah;
c.
saluran
Pembuangan Air Hujan.
(2)
Utilitas
Umum merupakan prasarana bangunan yang dibutuhkan dalam sistem pelayanan
lingkungan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dan terdiri dari
antara lain :
a.
jaringan
Air Bersih;
b.
jaringan
Listrik;
c.
jaringan
Gas;
d.
jaringan
Telepon;
e.
terminal
Angkutan Umum / Bus Shelter;
f.
kebersihan
/ Pembuangan Sampah;
g.
pemadam
Kebakaran.
(3)
Fasilitas Sosial merupakan fasilitas yang dibutuhkan
masyarakat dalam lingkungan pemukiman yang meliputi antara lain :
a.
pendidikan;
b.
kesehatan;
c.
perbelanjaan
dan niaga;
d.
pemerintahan
dan pelayanan
umum;
e.
peribadatan;
f.
rekreasi
dan kebudayaan;
g.
olahraga
dan lapangan
terbuka;
h.
pemakaman
umum.
Bagian
Kedua
Tata
Cara Penyerahan
Paragraf
1
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
Pasal
100
(1)
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
yang akan diserahkan kepada Pemerintah Kota wajib dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
(2)
Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial
yang diserahkan telah memenuhi syarat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
(3)
Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan
Fasilitas Sosial dapat dilaksanakan secara bertahap dengan ketentuan sebagai
berikut :
a.
untuk Prasarana Lingkungan, tanah dan bangunan telah
selesai dibangun dan dipelihara;
b.
untuk Utilitas Umum, tanah dan bangunan telah selesai
dibangun dan dipelihara;
c.
untuk Fasilitas Sosial, tanah telah siap untuk dibangun.
Pasal 101
Bagi perorangan atau Badan hukum yang mengajukan
permohonan peruntukan lahan lebih besar dan atau sama dengan 1 Ha (satu
hectare), perbandingan penggunaan lahan adalah 70 : 30,
Maksimum 40 % (empatpuluh persen) dari luas lahan sebagai prasarana lingkungan,
utilitas umum dan fasilitas sosial dan diserahkan kepada Pemerintah Kota tanpa
ganti rugi.
Pasal 102
Pemeliharaan oleh Perumnas/Perusahaan Pembangunan
Perumahan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak selesainya pembangunan
perumahan tersebut dengan ketentuan
sebagai berikut :
a.
minimal 50% (limapuluh persen) dari tahapan pembangunan
rumah yang direncanakan telah dibangun;
b.
luas minimal tahapan pembangunan adalah 5 Ha (lima
hectare);
c.
untuk luas areal lebih kecil dari 5 Ha (lima hectare)
penyerahan dilaksanakan sekaligus.
Pasal
103
(1)
Realisasi
penyerahan prasarana perumahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya dalam
waktu 3 (tiga) bulan setelah hasil laporan Tim Verifikasi diterima dengan baik
oleh Walikota.
(2)
Seluruh
prasarana sebagaimana dimaksud ayat (1) telah diserahkan kepada Pemerintah Kota
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Hak, wewenang dan tanggung jawab pengurusannya beralih sepenuhnya kepada
Pemerintah Kota.
(3)
Terhitung
sejak dilaksanakan penyerahan prasarana perumahan tersebut, maka beralihlah
hubungan atas tanah/bangunan dengan Perusahaan Pembangunan Perumahan, kecuali
tanah bangunan di atas pengelolaan Perum Perumnas yang diserahkan dengan status
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
(4)
Jika
Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan menggunakan prasarana yang
telah diserahkan kepada Pemerintah Kota untuk keperluan melanjutkan pembangunan
perumahan, maka Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan diwajibkan
memperbaiki dan memelihara prasarana perumahan dimaksud.
(5)
Apabila
Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan telah selesai 100% (seratus
persen) melaksanakan pembangunan maka wajib diserahkan prasarana perumahan
tersebut kepada Pemerintah Kota dengan jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun
terhitung sejak Berita Acara ke II yang berisi Penyerahan Hasil Pekerjaan
Pembangunan Perumahan dari Kontraktor dan atau terhitung sejak berakhirnya masa
pemeliharaan bangunan kepada Perum Perumnas/Perusahaan Pembangunan Perumahan
setelah melampaui masa pemeliharaan fisik selama 3 (tiga) bulan atau sesuai
perjanjian.
BAB
XVIII
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal
104
(1)
Pemilik
atau pengguna bangunan gedung yang melanggar ketentuan Pasal 17 huruf b dan c
dapat dikenai sanksi administrasi berupa :
a.
peringatan
tertulis;
b.
pembatasan
kegiatan pembangunan;
c.
perintah penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan;
d.
perintah penghentian sementara atau tetap pada
pemanfaatan bangunan gedung;
e.
pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f.
pencabutan
izin mendirikan bangunan gedung;
g.
pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h.
pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i.
perintah
pembongkaran bangunan gedung.
(2)
Selain pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10% (sepuluh
per seratus) dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun.
(3)
Tata cara pemberian sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota.
BAB XIX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 105
Setiap orang dan/atau badan
yang melanggar ketentuan Pasal 17 huruf a diancam pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 106
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada Pasal 105 adalah pelanggaran.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 107
(1)
Pemilik bangunan yang pada saat berlakunya Peraturan
Daerah ini telah mendirikan/merubah/memperbaiki bangunan tanpa izin, harus
mengajukan permohonan izin berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2)
Bangunan yang pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah
ini sedang dalam proses pendiriannya dan/atau sedang diproses permohonan
izinnya harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 108
Hal-hal yang belum diatur
dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Walikota.
Pasal 109
Pada saat Peraturan Daerah
ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 08 Tahun 2009
tentang Retribusi dan Izin Mendirikan Bangunan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 110
Peraturan Daerah ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannnya dalam Lembaran Daerah Kota Banjarmasin.
Ditetapkan
di Banjarmasin
pada
tanggal 1 Mei 2012
WALIKOTA
BANJARMASIN
ttd
H.
MUHIDIN
Diundangkan di Banjarmasin
pada tanggal 3 Mei 2012
SEKRETARIS
DAERAH KOTA BANJARMASIN
ttd
H. ZULFADLI GAZALI
LEMBARAN
DAEARH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2012 NOMOR 15
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN
NOMOR 15 TAHUN 2012
TENTANG
IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
I. UMUM
Izin Mendirikan Bangunan mempunyai peran
sangat penting dalam mengendalikan pembangunan dan pemanfaatan bangunan di
wilayah Kota Banjarmasin, dengan tujuan terjaminnya keselamatan penghuni dan
lingkungan serta tertib pembangunan. Tertib pembangunan yang dimaksud adalah
desain, pelaksanaan pembangunan dan bangunan sesuai dengan rencana tata ruang
yang berlaku, sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB) yang ditetapkan.
Peraturan Daerah ini dimaksudkan untuk
mengganti Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Retribusi dan Izin Mendirikan Bangunan. Penggantian dimaksud dalam upaya
menyesuaikan dengan perkembangan keadaan dewasa ini, baik dilihat dari aspek
formal maupun material.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Pasal ini menjelaskan arti beberapa istilah
yang digunakan dalam Peraturan Daerah ini dengan maksud untuk menyamakan
pengertian tentang istilah-istilah itu, sehingga dengan demikian dapat
dihindari kesalahpahaman dalam menafsirkannya.
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup Jelas
Pasal 9
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas
Pasal 16
Cukup Jelas
Pasal 17
Pasal 18
Cukup Jelas
Pasal 19
Cukup Jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup Jelas
Pasal 22
Cukup Jelas
Pasal 23
Cukup Jelas
Pasal 24
Cukup Jelas
Pasal 25
Pasal 26
Cukup Jelas
Pasal 27
Cukup Jelas
Pasal 28
Cukup Jelas
Pasal 29
Bangunan Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Daerah yang bukan menjadi obyek retribusi adalah bangunan untuk
kantor lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, kecuali bangunan milik Pemerintah,
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah untuk pelayanan jasa umum dan jasa
usaha. Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah
untuk pelayanan jasa umum meliputi : bangunan pelayanan kesehatan, bangunan
pasar, bangunan pelayanan pendidikan dan bangunan pelayanan umum lainnya,
kecuali prasarana bangunan jalan, jembatan dan pengairan. Bangunan milik
Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah untuk pelayanan jasa
usaha meliputi : bangunan terminal, bangunan perbankan, bangunan tempat
penginapan, bangunan tempat olahraga, dan bangunan Pemerintah atau Pemerintah
Daerah yang digunakan untuk kegiatan usaha.
Pasal 30
Cukup Jelas
Pasal 31
Cukup Jelas
Pasal 32
Cukup Jelas
Pasal 33
Cukup Jelas
Pasal 34
Cukup Jelas
Pasal 35
Cukup Jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Cukup Jelas
Pasal 39
Cukup Jelas
Pasal 40
Cukup Jelas
Pasal 41
Cukup Jelas
Pasal 42
Cukup Jelas
Pasal 43
Cukup Jelas
Pasal 44
Cukup Jelas
Pasal 45
Cukup Jelas
Pasal 46
Cukup Jelas
Pasal 47
Cukup Jelas
Pasal 48
Cukup Jelas
Pasal 49
Cukup Jelas
Pasal 50
Cukup Jelas
Pasal 51
Cukup Jelas
Pasal 52
Cukup Jelas
Pasal 53
Cukup Jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Garis Sempadan
Bangunan adalah garis yang ditarik dari as jalan ke arah bangunan hingga
dinding terluar bangunan.
Untuk teras
bangunan yang menggunakan atap dak / beton dengan penyangga atap berupa tiang /
kolom beton, dan bagian atasnya digunakan untuk sarana lainnya maka garis
sempadan bangunan terletak pada dinding tiang / kolom beton tersebut.
Pasal 55
Cukup Jelas
Pasal 56
Cukup Jelas
Pasal 57
Cukup Jelas
Pasal 58
Cukup Jelas
Pasal 59
Cukup Jelas
Pasal 60
Cukup Jelas
Pasal 61
Cukup Jelas
Pasal 62
Cukup Jelas
Pasal 63
Cukup Jelas
Pasal 64
Cukup Jelas
Pasal 65
Cukup Jelas
Pasal 66
Cukup Jelas
Pasal 67
Cukup Jelas
Pasal 68
Cukup Jelas
Pasal 69
Cukup Jelas
Pasal 70
Cukup Jelas
Pasal 71
Cukup Jelas
Pasal 72
Cukup Jelas
Pasal 73
Cukup Jelas
Pasal 74
Cukup Jelas
Pasal 75
Cukup Jelas
Pasal 76
Cukup Jelas
Pasal 77
Cukup Jelas
Pasal 78
Cukup Jelas
Pasal 79
Cukup Jelas
Pasal 80
Cukup Jelas
Pasal 81
Cukup Jelas
Pasal 82
Cukup Jelas
Pasal 83
Cukup Jelas
Pasal 84
Cukup Jelas
Pasal 85
Cukup Jelas
Pasal 86
Cukup Jelas
Pasal 87
Cukup Jelas
Pasal 88
Cukup Jelas
Pasal 89
Cukup Jelas
Pasal 90
Cukup Jelas
Pasal 91
Cukup Jelas
Pasal 92
Cukup Jelas
Pasal 93
Cukup Jelas
Pasal 94
Cukup Jelas
Pasal 95
Cukup Jelas
Pasal 96
Cukup Jelas
Pasal 97
Cukup Jelas
Pasal 98
Cukup Jelas
Pasal 99
Cukup Jelas
Pasal 100
Cukup Jelas
Pasal 101
Cukup Jelas
Pasal 102
Cukup Jelas
Pasal 103
Cukup Jelas
Pasal 104
Cukup Jelas
Pasal 105
Cukup Jelas
Pasal 106
|
- Home
- Profil
- _Sejarah
- _Visi Dan Misi
- _Tugas dan Fungsi
- _Struktur Organisasi
- _Kepegawaian (SDM)
- _Maklumat Pelayanan
- _Motto
- _Kode Etik
- _Tata Tertib Pegawai
- _Tata Nilai Pelayanan
- _Jam Pelayanan
- Publikasi
- _Perencanaan
- __Rencana Strategis
- __Rencana Kerja
- __LKj/LAKIP
- __Perjanjian Kinerja
- __Rencana Kinerja Tahunan
- __Indikator Kinerja Utama
- _Anggaran
- _LHKPN
- Layanan
- _Layanan UPTD Perbaikan Jalan dan Jembatan
- _Layanan UPTD Pemeliharaan Sungai dan Drainase
- _Alur Layanan Aduan Masyarakat pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Banjarmasin
- _Layanan Lain
- Regulasi
- _Perda
- _Perkada
- _SOP
- _Alur Pelayanan
- _Standar Pelayanan Publik
- Pengaduan
- _Lapor
- _Wistleblower System
- Tautan
- _E-LHKPN
- _E-LAPOR
- _Siharka
- _Simpeg
- _Sinovik
- _Sirup
- Informasi
- Dokumen